SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sejuk dan bersih. Harum pewangi yang lembut langsung menyapa indera pencium tamu yang datang berkunjung. Ruangan Kepala Markas PMI Solo yang berada di lantai II itu sangat nyaman hingga membuat penghuninya, mantan anggota DPRD periode 1999-2004, Iqbal M Ipmawan, mengaku betah bekerja hingga berjam-jam lamanya.
Ironis, begitu kata Iqbal, mengomentari dirinya sendiri. Dulu, dia pernah mengkritik habis-habisan PMI atas dugaan kasus penjualan kantong darah hingga pencatatan anggaran hibah Pemkot yang kacau. Kini, dia malah bekerja di lembaga yang pernah ia kritik.
“Yang mengejutkan ternyata tak semua teman saya di DPRD itu baik. Ketika saya bersikap keras, mengkritik eksekutif, ternyata ada teman yang malah memanfaatkan. Amplop tanpa pertanggungjawaban, uang pelicin dari eksekutif berseliweran, memalukan memang,” kata dia.
Dibanding kondisi anggota DPRD saat ini, Iqbal mengakui situasinya saat itu jauh lebih baik. Dulu, terangnya, legislatif punya kewenangan untuk meloloskan atau menolak laporan pertanggungjawaban Walikota, tak seperti sekarang. “Jadi kalau ada oknum yang mau memanfaatkan momen itu ya terserah. Saya tak mau mencoba, tak mau menerima,” ujarnya.
Bagaimana dengan amplop untuk kunjungan kerja (kunker) Dewan atau yang populer disebut dengan uang saku, Iqbal terbahak. “Dulu tak ada yang seperti itu. Fokus kami bukan di kunker tapi di pertanggungjawaban anggaran. Fokus di DPRD yang sekarang ini mungkin agak lain ya. Yang jelas sekarang ini memang tidak ada ‘celah’ dalam momen pertanggungjawaban APBD,” tegasnya.
Apa yang disampaikan Iqbal diamini seorang anggota DPRD Solo yang tak mau disebut namanya. Menurutnya, celah mencari uang tambahan yang paling memungkinkan adalah pada saat kunker ke luar daerah.
“Sebelum kunker, biasanya tiap SKPD yang menjadi counterpart komisi menyetorkan sejumlah uang kepada kolektor di tiap komisi. Setelah uang terkumpul, barulah kolektor ini membagi rata uangnya untuk semua anggota komisi. Itulah sebabnya kenapa dalam beberapa perjalanan dinas DPRD, selalu ada pendamping dari pihak eksekutif,” jelasnya.
Pada akhirnya nanti, , imbuh sumber itu, uang saku untuk anggota Dewan dimasukkan dalam laporan pertanggungjawaban perdin dari pihak eksekutif.
Soal nilai uang saku yang diterima setiap anggota Dewan, semula sumber itu enggan memberikan informasi. “Memalukan sebenarnya,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
Menurutnya, isi satu amplop uang hanya Rp1 juta-Rp 3 juta. Tidak pernah lebih. Yang membuat miris, tuturnya, walau jumlahnya kecil namun tetap saja uang tersebut diterima.
“Ya namanya saja uang. Meski sedikit tetap saja diterima. Hanya siapa saja yang menerima uang itu, saya tidak tahu sebab saya memilih tidak menerima. Pilihan ini mengenai harga diri,” tegasnya.
Disinggung mengenai uang saku resmi dari Setwan yang dianggarkan melalui APBD, sumber itu mengiyakan. Namun, katanya, nilai uang saku yang diterima masing-masing anggota DPRD sangat kecil. Sisa-sisa dana dari uang perjalanan, termasuk di dalamnya uang penginapan, uang makan dan uang-uang lainnya juga tak bisa diharapkan. “Nah, bisa dipahami kan kenapa uang yang hanya Rp1 juta sampai Rp3 juta itu teman-teman terima.”
Hal senada disampaikan sumber lain yang juga anggota DPRD. Menurut dia, uang saku dari PNS memang selalu ada terutama saat kunker. Namun demikian, tidak semua anggota DPRD mau menerimanya.
Dimintai konfirmasi soal uang saku dari eksekutif, Ketua DPRD Solo, YF Sukasno membantahnya. Menurutnya, eksekutif tak pernah memberikan uang saku kepada anggota DPRD. Selama ini, baik pimpinan maupun anggota Dewan menerima uang saku dari APBD yang dikelola oleh Setwan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya