SOLOPOS.COM - Eko Sulistyo (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Sejarah perlistrikan di Kota Solo memiliki cerita menarik untuk ditulis. Bukan saja karena Solo merupakan kota pertama setelah Batavia (Jakarta) yang dialiri listrik pada 1902, tapi sejarah perlistrikan di Kota Solo telah menorehkan catatan penting ihwal keinginan seorang penguasa pribumi membangun pembangkit listrik sendiri.

Meski harus berakhir dengan pelarangan oleh penguasa kolonial, pembangkit listrik itu sempat diresmikan dan beroperasi selama beberapa tahun. Dari perspektif nasionalisme, upaya pendirian pembangkit listrik oleh bangsa pribumi pada era kolonial adalah terobosan penting.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Selain bentuk kemandirian dan untuk memperluas jaringan listrik prakarsa ini juga untuk menambah pendapatan. Langkah itu menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda karena berpotensi menggerus pemasukan dan mengganggu stabilitas politik lantaran kaum pribumi mengupayakan pengadaan listrik murah bagi bangsanya sendiri.

Tokoh setral yang memiliki ide mendahului zaman itu adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro VII (1916-1944), penguasa Praja Mangkunegaran yang sempat mengenyam kuliah di negeri penjajah.  Sebagai seorang terpelajar dan banyak relasi dengan kaum Eropa, tidak sulit menyimak tuntutan mengejar kemajuan teknologi listrik di wilayahnya.

Pendahulunya, Mangkunagoro VI (1896-1911), bersama Sunan Paku Buwono X (1893-1939) dari Keraton Kasunanan Surakarta, dikenal sebagai penggagas berdirinya perusahaan listrik swasta di Solo, yaitu Solosche Electriciteits Maatschappij (SEM). Perusahaan listrik swasta ini berdiri pada 12 Maret 1901.

Sebagai perusahaan publik yang bergerak di bidang kelistrikan di tanah kerajaan (vorstelanden), SEM sangat terbantu dukungan Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Mereka tidak hanya sebagai pemegang saham, tetapi mereka juga menjadi komisaris, diwakili Patih Sasradiningrat dari Keraton Kasunanan Surakarta dan J.A.C. De Kock van Leeuwen sebagai pengawas tanah Mangkunegaran.

Duduk pula sebagai komisaris Kapten Tionghoa Be Kwat Koen dan pegusaha S.J.W. Van Buuren serta Firma Maintz & Co. di Batavia sebagai direktur mewakili Algemenine Electriciteits Gesellschafte di Berlin. Dalam Jaarverslagen SEM 1911-1931 dijelaskann dengan modal awal 225.000 gulden dan kantor pemberian Paku Buwono X di Purwosari, SEM berkembang tidak hanya sebagai perusahaan pemasok listrik, tapi juga pemborong dan pemasang instalasi listrik di wilayah Solo.

Konsumen di Kota Solo dan sekitarnya sangat beragam, mulai dari raja, kalangan elite pribumi, bangsa asing, dan pengusaha. SEM tidak hanya memasang listrik dan lampu-lampu megah yang sampai hari ini artefaknya seperti genset, instalasi listrik, dan gardu distribusi masih bisa kita saksikan di Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran.

SEM juga mengerjakan instalasi listrik di kantor-kantor pemerintahan, penerangan jalan, dan jaringan listrik hingga perdesaan.  Semula tenaga uap menjadi sumber tenaga listrik, namun menjelang 1920 SEM meningkatkan suplai listrik dengan mendatangkan genset dari luar negeri yang terus ditambah daya atau kekuatannya.

Untuk meningkatkan jumlah pelanggan SEM aktif berpromosi dan mengadakan pertunjukan dengan menyuguhkan atraksi bola-bola lampu yang menyilaukan dan membuat takjub pengunjung yang menyaksikan. Dalam konteks ini, kehadiran SEM membawa modernitas dan mewujudkan Kota Solo yang terang benderang pada malam hari dengan segala aktivitas budaya dan kuliner masyarakatnya.

Hal demikian digambarkan dalam Serat Sri Mahargya oleh Purbadipura (1930). Kacarita surup surya, sunaring lampu èlikstrit, padhang samargi-margi, kadulu lir dudu dalu, wus mèh kadya raina, dhangan kang sami lumaris.

Artiya, memasuki waktu matahari tenggelam, cahaya lampu listrik terang benderang di sepanjang jalan, seolah-olah bukan malam hari, sudah menyerupai siang hari, semua orang yang melewatinya menjadi senang.

Berdasar Statistiek van de Openbare Electriciteitsbedrijven in Nederland Indie over 1911-1931, sejak awal usaha sampai 1931, SEM menghasilkan listrik sebesar 6.091.000 kWh per tahun. Kekuatan ini dinilai belum mampu mencukupi kebutuhan listrik di Kota Solo dan sekitarnya.

Membangun Pembangkit

Selaku zuster maatschappij dari SEM, NV Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteit (ANIEM) berusaha menambah pasokan listrik dengan membangun jaringan transmisi dan distribusi dari pusat tenaga listrik di waterkracht Tuntang, Kota Salatiga.

Bagi Mangkunagoro VII, kekurangan pasokan listrik itu justru medorongnya untuk mendirikan pembangkit sendiri.  Harapannya, tarif listrik yang ditetapkan terjangkau seluruh kawula dalem (rakyat) di wilayahnya. Keinginan ini logis mengingat saat itu eksploitasi pada tahun-tahun pertama yang dilakukan SEM mengalami kerugian yang berimbas melonjaknya tarif listrik bagi masyarakat.

Faktor lainnya, pembangkit listrik di Tuntang ketika menyuplai listrik di vorstenlanden jaraknya relatif jauh. Hal ini menguatkan pihak Mangkunegaran yang berinisiatif mengoptimalkan potensi alam di wilayahnya untuk pembangkit listrik. Gagasan ini bukan mustahil lantaran pembangkit listrik di Tuntang memakai sungai untuk pembangkitnya, maka Tawangmangu yang memiliki sungai dinilai cocok sebagai tempat pembangkit listrik.

Manajemen SEM mengakui pembangkit listrik di Tuntang kewalahan menyuplai energi listrik di vorstenlanden yang cukup luas. Berdasarkan arsip SEM No. 11403/29 tanggal 27 Desember 1930,  SEM  telah menolak permohonan penambahan listrik di Mangkunegaran.

Saat itu Mangkunegaran sedang bersolek menata kawasan menjadi lebih terang pada malam hari ditambah kegiatan pabrik yang membutuhkan daya listrik tidak kecil. Untuk menindaklanjuti ide Mangkunagoro VII diadakan tur ke Tawangmangu oleh penguasa Mangkunegaran dan SEM pada 1932.

SEM memiliki izin menyediakan listrik di Kota Solo dan sekitarnya, tapi tidak mengantongi izin membangun pembangkit listrik dari air.  Tiap hari SEM membutuhkan 25.000 kWh listrik atau 1.000 kWh setiap jam untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Dari hasil riset awal itu diketahui bahwa Kali Samin di Tawangmangu sangat ideal untuk pembangkit listrik. Alternatif lainnya tempat di dekat air terjun Beji.  Selajutnya, berdasarkan arsip surat No. 324/3 tanggal 15 Maret 1932, dikeluarkan keputusan Kepala Irigasi Mangkunegaran bahwa pembangkit listrik bakal ditempatkan di Tawangmangu.

Kerja sama pendirian pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan biaya sebesar 1.100.000 gulden kemudian ditandatangani oleh Ir. Sarsito dari Mangkunegaran dan SEM diwakili Ir. Van Venlthoven.  Pengerjaan oleh SEM melibatkan tenaga profesional dan para kuli.

Berdasarkan Rapport Betreffende de Mogelijkheid tet het Opwekken van Electriciteit Middels Waterkrachtweken in het Tawangmangoesche, 7 November 1932, tidak diketahui secara pasti berapa lama waktu pengerjaannya.

Proyek besar itu berhasil diselesaikan dan diresmikan oleh isteri Mangkunagoro VII yang dalam fotonya didampigi para pejabat Mangkunegaran dan orang Belanda saat menekan tombol turbin sebagai simboli dioperasikannya PLTA Kali Samin di Tawangmangu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya