SOLOPOS.COM - Alfred Riedl, pelatih timnas senior Indonesia. JIBI/Solopos/Dok

Harianjogja.com, JAKARTA — Sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, jujur saja, dengan segala keterbatasan saya, izinkan saya mengatakan bahwa Alfred Riedl adalah pelatih Merah Putih yang paling ‘tidak pintar’.

Sungguh tidak masuk akal bagi saya seorang pelatih yang sempat meloloskan Indonesia ke final Piala AFF 2010, tetapi hanya dalam rentang waktu 4 tahun mengambil keputusan aneh, bahkan menyangkut hal-hal yang mendasar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pertama, benar-benar tidak dapat diterima ada seorang pelatih tidak memanggil seorang yang baru saja ditahbiskan sebagai pemain terbaik dalam satu musim kompetisi.

Ya, Ferdinand Sinaga baru saja membawa Persib Bandung juara Indonesia Super League (ISL) 2014. Bersamaan dengan itu di pun dinobatkan sebagai pemain terbaik ISL 2014.

Lebih dari itu, Ferdinand baru saja menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi top skor di Asian Games.

Tapi kok bisa-bisanya Riedl tidak memanggilnya? Ini jelas kesalahan mendasar. Yang namanya pemain terbaik, kecuali kalau dia sedang cedera, haruslah dipanggil ke tim nasional. Berapa pun jumlah pemain yang sudah tersedia di timnas untuk mengisi posnya.

Kekeliruan mendasar kedua, sudah jelas ada pemain terbaik Timnas U-19 bernama Evan Dimas Darmono ikut serta ke Hanoi, tetapi mengapa akhirnya hanya duduk di bangku cadangan dalam dua laga awal?

Klub selevel Barcelona di Spanyol saja memuji kepiawaian Evan Dimas. Klub Brisbane Roar (Australia) dan Jubilo Iwata (Jepang) bahkan menginginkan Evan Dimas main bersama mereka.

Tapi Alfred Riedl? Sudah membawa Evan Dimas kok malah tidak menurunkannya.

Kesalahan mendasar ketiga, lambat sekali melihat mandulnya Sergio van Dijk. Pemain naturalisasi asal Belanda ini jelas sudah melewati masa emasnya.

Tak punya kecepatan, tak berani bertarung, tak punya kreativitas, tak punya tendangan keras jarak jauh. Itulah yang diperlihatkan Sergio saat lawan Vietnam dan Filipina.

Yang terjadi malahan dia memberi assist untuk pemain Vietnam mencetak gol ke gawang Indonesia akibat sundulannya tidak akurat saat hendak mengantisipasi sepak pojok lawan.

Saat melawan Filipina, karena praktis Sergio tidak bisa berbuat apa-apa, lini tengah dan belakang terpaksa ikut maju dan itulah yang membuat akhirnya indonesia kebobolan gol demi gol.

Begitu parahnya kelemahan Sergio, tetapi mengapa lambat sekali pelatih sekaliber Riedl melihat titik lemah itu?

Kesalahan mendasar keempat, pada saat memerlukan mencetak gol sebanyak-banyaknya ke gawang Laos, Riedl malahan tidak menurunkan top skor lokal ISL 2014 Samsul Arif Munip. Pemain Arema Cronus ini mencetak 15 gol sepanjang ISL 2014 dan hanya di bawa Emmanuel Kenmogne (Persebaya) dengan 23 gol.

Bayangkan jika ternyata Vietnam kalah dari Filipina, dan itu sebenarnya mungkin saja terjadi karena Filipina bisa saja ada keinginan untuk menghindari Thailand—yang diprediksi jadi juara Grup B—di semifinal, maka akan sangat kecewa Samsul Arif tidak diberi kesempatan bermain dan akhirnya Indonesia tersingkir karena kalah selisih gol saja dari Vietnam.

Logika mendasarnya, kalau kita sedang perlu mencetak gol sebanyak mungkin, maka turunkanlah striker yang telah terbukti mencetak gol dalam jumlah besar. Jelas sekali bahwa di barisan depan tim Garuda, Samsul Arif yang paling produktif menjaringkan bola.

Kesalahan mendasar kelima, seorang pelatih bicara berulang kali di depan pers internasional bahwa pemain Indonesia tidak optimal akibat mepetnya final ISL dengan Piala AFF.

Pernyataan ini benar-benar sampah! Apakah Riedl tidak tahu bahwa begitu banyak timnas negara di berbagai belahan dunia yang pemainnya main atas negara di sela-sela aktivitas kompetisi domestik?

Timnas negara-negara di Eropa main kualifikasi Euro dengan jeda kompetisi domestik hanya satu pekan. Hal yang sama dengan pemain-pemain Afrika yang ikut kualifikasi Piala Afrika 2015, bahkan ratusan di antaranya dengan terbang dari Eropa.

Begitu juga dengan negara-negara anggota Konfederasi Sepak Bola Amerika Selatan (Conmebol). Hampir separuh dari pemain timnas anggota Conmebol yang terlibat dalam babak kualifikasi Piala Dunia sejak edisi 1998, dengan bertanding sebanyak 16 – 18 kali selama 2 tahun, tetap bisa bermain untuk klub-klub Eropa mereka.

Jadi, sangat tidak tepat alasan Riedl mengambing-hitamkan ISL sebagai penyebab Timnas Indonesia gagal di Piala AFF 2014.

Jelas bahwa Riedl adalah baing kegagalan yang memalukan dengan sejarah kalah 0-4 dari Filipina. Bahkan, PSSI pun sulit dipersalahkan, karena mereka memilih Riedl berdasarkan raihan prestasi di Piala AFF 2010. Siapa sangka ternyata Riedl sekarang begitu bodoh?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya