SOLOPOS.COM - Mbah Cipto Wiyono, 86, petani yang tinggal di Dukuh Sunggingan RT 011, Desa Jambeyan, Sambirejo, Sragen. Foto diambil Sabtu (15/8/2020). (Solopos-Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN -- Hama tikus yang marak di persawahan Sragen tak hanya mengancam tanaman padi tetapi juga memicu hilangnya nyawa petani akibat tersetrum jebakan beraliran listrik.

Tak tanggung-tanggung selama Januari-Agustus 2020, tercatat ada sembilan petani Sragen menjadi korban jebakan tikus berlistrik.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berbagai upaya sudah dilakukan supaya tidak muncul kasus kematian akibat jebakan tikus berlistrik. Bahkan Pemkab Sragen pun telah resmi melarang penggunaan jebakan listrik karena membahayakan nyawa.

Wacana Pemindahan Pasar Kota Sragen Bergulir, 1.000-an Pedagang Menolak Keras

Ekspedisi Mudik 2024

Seorang petani tua yang tinggal di Dukuh Sunggingan RT 011, Desa Jambeyan, Sambirejo, Sragen, Cipto Wiyono, 86, melihat fenomena maraknya serangan hama tikus menggunakan kearifan lokal petani zaman dulu.

Mbah Cipto memercayai tikus yang menyerang tanaman padi di Sragen bukanlah tikus biasa tetapi tikus ambah-ambahan atau kongkonan atau tikus yang diperintah. Cipto menyebut tikus tersebut ada yang menggembala.

“Dulu, musim tikus di Jambeyan. Kebetulan sawah saya tidak diserang sendiri tetapi 14 patok lainnya diserang. Nah, para petani meminta saya untuk melakukan ritual tolak balak supaya tikus-tikus itu tidak menyerang tanaman padi. Saat ritual pertama, saya ditemui sepasang orang tua yang memakai pakaian serba hitam. Mereka melarang saya untuk melanjutkan ritual memagari sawah dari tikus,” ujar Cipto, beberapa waktu lalu.

Oleh sosok pasangan orang tua itu, Cipto diberi tahu papan tempat tinggal tikus ambah-ambahan itu setelah memasang sesaji di empat sudut sawah dan tengah (pancer) sawah.

Ritual Pemagaran Sawah

Dia menerangkan pemimpin tikus itu namanya tikus dinada, asal-muasalnya di Gunung Combre (Combri), rumahnya padas perenga, makanannya glagah rayunan (sejenis rerumputan), dan jalannya pojok lor wetan atau timur laut.

“Lalu saya diminta melihat ke belakang. Ada gambaran seseorang dibopong [orang sakit]. Kemudian di sawah lain, saya ditemui dua orang tua itu lagi supaya menghentikan ritualnya. Saya diminta melihat ke belakang lagi. Ada gambaran kuburan yang habis disekar [ditaburi bunga] yang artinya orang meninggal,” terangnya.

Setelah melihat gambaran yang terakhir itulah, Cipto memutuskan untuk mundur dari ritual pemagaran sawah dari tikus daripada jatuh korban.

Permintaan Air Bersih Sragen Diprediksi Memuncak Awal September, Bantu Yuk!

Dia menyimpulkan serangan hama tikus itu seperti sudah dikehendaki Tuhan dan memang tidak bisa dibasmi.

“Saya menduga banyaknya orang yang meninggal karena memasang jebakan tikus itu ada kaitannya dengan tikus jenis ambah-ambahan ini. Jadi jangan dilawan. Kalau saya justru saya beri makan nasi pecel di empat arah mata angin dan pusatnya di tengah sawah atau papat pojok lima pancer. Nasi pecel itu saya lengkapi dengan bubur abang-putih, suruh atau dadapserep diikat dengan benang, gereh pethek, dan kembang sembari berdoa supaya sawah terbebas dari hama,” tuturnya.

Kearifan lokal itulah yang ditawarkan Mbah Cipto supaya bisa terhindar dari serangan hama tikus. Mbah Cipto menjelaskan tikus itu merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sama-sama hidup di dunia.

Dia mempertanyakan sebagai sesama makhluk Tuhan kenapa harus dibunuh. Dia justru mengajak petani di Sragen untuk berdamai dengan tikus dengan kearifan lokal karena tikus yang digembala itu memang tidak bisa diperangi.

Terungkap, Segini Besarnya Nilai Investasi Pabrik Sepatu di Bonagung Sragen

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya