SOLOPOS.COM - Al Iklas Kurnia Salam (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Bagi  kalangan pesantren, sekolah formal maupun madrasah diniah adalah laboratorium dakwah. Di dalamnya nilai-nilai cinta kasih seperti keteladanan, kesabaran, empati, dan kejujuran ditumbuhkembangkan. Nilai-nilai itu ditanamkan dalam benak anak agar berkembang menjadi ciri khas dan karakteristik santri.

Salah satu cara yang biasanya dilakukan untuk menanamkan akhlak mulia itu adalah mereproduksi kisah-kisah hikmah dari para kiai besar. Harapannya, para santri bisa mendapatkan teladan untuk menghadapi persoalan hidup yang mungkin akan mereka temukan kelak.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Salah satu kisah yang sering diceritakan ulang di pesantren adalah kisah Kiai Hasyim Asy’ari saat menghadapi salah satu santri yang sangat spesial. Kisah ini diceritakan agar para santri belajar mengenai kesabaran, ketabahan, sikap positif, dan tanggung jawab dalam menghadapi permasalahan.

Alkisah, Kiai Hasyim Asy’ari mempunyai seorang santri bernama Sulam Syamsun. Santri ini sering membuat masalah di pesantren. Permasalahan yang paling berat yang ia hadapi adalah banyak utang kepada teman-teman sepondok.

Utangnya yang telanjur menggunung membuat Sulam Syamsun tidak berani kembali ke pondok setelah liburan usai. Sulam menggunakan siasat licik. Ia menulis surat kepada Kiai Hasyim dan berpura-pura mati. Mendapat surat dari muridnya, Kiai Hasyim sangat sedih.

Kiai Hasyim berinisiatif mengumpulkan semua santri untuk mendoakan Sulam Syamsun dan mengajak mereka salat gaib. Setelah salat gaib, Kiai Hasyim bertanya tentang dosa dan utang si santri.

”Hadirin sekalian, Sulam sudah meninggal. Jika ia ada salah mohon maafkan kesalahanya,” kata Kiai Hasyim.

Nggih [iya]….,” jawaban semua santri.

”Ini yang agak berat, yakni soal utang. Kalau dia ada utang tolong diikhlaskan, ya…,” kata Kiai Hasyim.

Nggih” [iya]…,” kata para santri.

”Halal?” kata Kiai Hasyim.

”Halal,” jawaban semua santri.

Tak lama setelah itu, Sulam Syamsun tiba-tiba muncul dari balik pintu pondok. Ia berterima kasih dengan berkara matur nuwun sambil cengar-cengir. Melihat tingkah muridnya itu, Kiai Hasyim tidak marah. Kiai karismatik ini justru menangis dan merangkul Sulam.

”Alhamdulilah, engkau belum meninggal, Lam. Aku kira engkau meninggal. Ya, sudah, karena aku telah berjanji, sekarang di pesantren ini, kamu tidak punya dosa dan tidak punya utang,” kata Kiai Hasyim.

”Adapun bagi yang belum ikhlas dengan utangmu, karena engkau masih hidup dan aku telah berjanji, akulah yang akan menanggungnya. Jadi, bagi yang mau menagih utang Sulam, tagihlah aku,” ujar Kiai Hasyim.

Kisah tersebut sering saya dengar di pesantren tempat saya mengajar, Pondok Pesantren Mabadiul Ihsan. Kisah ini sering diungkap dan dikutip oleh para guru dan kiai untuk memotivasi para santri saat menghadapi cobaan dalam berdakwah.

Dari kisah tersebut kita bisa merasakan betapa indahnya metode dakwah Kiai Hasyim. Kiai Hasyim tidak marah ketika dibohongi. Ia juga tidak memendam dendam atau berkata kasar. Ia justru memaafkan, berkata lembut, dan selalu membela santrinya. Ia bertanggung jawab pada ikrar yang telah ia buat.

Sikap dan keteladanan Kiai Hasyim tersebut bisa kita jadikan rujukan dalam berdakwah. Dakwah adalah soal keteladanan, kelembutan, dan kasih sayang. Dengan penekanan pada tiga hal tersebut, Islam akan menjadi agama cinta dan kasih sayang.

Di pesantren cara-cara humanis seperti ini selalu digunakan untuk mendidik para santri yang sedang menuntut ilmu. Hasilnya sungguh luar biasa. Pesantren bukan hanya mencetak para pelajar yang cakap dalam bidang ilmu, namun juga unggul dalam hal akhlak.

Qatar adalah contoh paling aktual dari efektifnya dakwah dengan cara-cara penuh kasih khas pesantren. Dari penampilan grand opening di Piala Dunia Qatar 2022 kita menyaksikan betapa lembut dan efektifnya metode dakwah ini.

Syekh Muhammad Jaber menulis dalam akun Instagram bahwa ada lebih dari 1.000 orang yang masuk Islam karena diperkenalkan dengan wajah lembut Islam. Mereka memutuskan menjadi mualaf setelah tertarik dengan keindahan Islam.

Islam yang sering ditampilkan dalam frame brutal, bengis, tidak berperikemanusiaan, ternyata berbanding terbalik dengan anggapan awal mereka itu. Islam ternyata agama yang lurus, penuh cinta, dan menghargai perbedaan. Citra ini sangat berbekas pada mereka yang selama ini menganggap Islam sebagai agama teroris dan menyukai kekerasan.

Jika Qatar telah membuka mata dunia dengan menampilkan wajah Islam yang humanis dan penuh kasih, apakah yang akan kita lakukan pascapiala dunia? Akankah kita akan mendukung cara-cara dakwah khas pesantren yang santun dan humanis atau hanya berpangku tangan dan bersikap acuh tak acuh?

Masalahnya, kita sudah berada di ambang tahun politik 2024. Para politikus biasanya akan memanfaatkan citra agama untuk kepentingan dan ambisi pribadi. Mereka kerap menggunakan dalil agama untuk menyerang musuh politik yang dianggap kuat.



Jika pesantren mampu menjalankan fungsi sebagai laboratorium dakwah, polarisasi masyarakat yang berujung pada benturan-benturan di akar rumput pasti tidak akan terjadi. Kita akan selalu hidup damai dalam kebinekaan. Amin.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 Januari 2023. Penulis adalah guru SMA Plus Cordova di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dan alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya