SOLOPOS.COM - Petani memanen padi di sawah Desa Gledeg, Kecamatan Karanganom, Klaten, Jumat (23/2/2018). (Cahyadi Kurniawan/JIBI/Solopos)

Para petani di Desa Gledeg, Karanganom, Klaten, bisa panen padi karena pertolongan burung hantu.

Solopos.com, KLATEN — Serangan tikus di areal persawahan Desa Gledeg, Kecamatan Karanganom, Klaten, mengakibatkan petani tak bisa panen padi. Akibatnya, selama 2,5 tahun, sawah petani rusak menyisakan rumput-rumput tinggi.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Sejumlah tokoh desa lantas berinisiatif mengembangkan burung hantu jenis Tyto Alba atau Serak Jawa atau Goak sebagai pemangsa tikus. Ilmu itu mereka dapatkan setelah belajar di Pusat Penangkaran Tyto Alba di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Demak.

Mereka menginiasi pengembangan Tyto Alba dengan membangun 40 unit rumah burung hantu (Rubuha) dari bambu. Para petani sepakat iuran Rp10.000 per orang pada 2012. Induknya berasal dari burung hantu yang bersarang di gedung sekolah dan TK desa setempat.

Ekspedisi Mudik 2024

“Mengembangkan Tyto Alba juga bukan hal mudah. Saat itu, tak jarang warga menolak lantaran hewan ini lekat dengan mitos,” ujar Kepala Dusun I Desa Gledeg, Agus Sri Haryana, saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Jumat (23/2/2018).

Dua tahun kemudian, rubuha itu rusak. Pembanguan rubuha baru dilakukan memanfaatkan dana PNPM sebesar Rp5 juta ditambah iuran petani sebesar Rp20.000. Dari dana itu berhasil dibangun 25 unit rubuha permanen.

“Keberadaan rubuha saat itu dinilai efektif. Petani perlahan mulai merasakan panen. Kesadaran warga soal burung hantu juga tumbuh,” beber dia.

Jumlah rubuha itu ditambah dengan dukungan dana desa sebesar Rp44 juta. Dana itu berhasil membangun 43 unit rubuha permanen. Dari dana yang sama bahkan dibangun tempat karantina burung hantu senilai Rp10 juta.

Jumlah rubuha di Gledeg bisa dibilang ideal sebab ada 68 rubuha dengan total lahan sawah 65 hektare. Idealnya, satu hektare sawah memiliki ada satu rubuha. Dari jumlah itu pula Gledeg menjadi desa yang memiliki rubuha terbanyak di Klaten.

Tak ada perlakuan istimewa bagi para burung hantu. Petani sengaja membiarkan mereka tumbuh alami. Dari 68 rubuha, baru ada 15 rubuha yang dihuni atau sekitar 30 ekor burung hantu.

Untuk perlindungan burung hantu, Pemerintah Desa Gledeg menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) No. 3/2012 tentang Larangan Memburu Burung Hantu. Setiap warga yang melanggar peraturan tersebut diancam denda hingga Rp5 juta.

“Hasilnya, kami kemarin panen dari lahan 1.250 meter persegi bisa menghasilkan Rp4,5 juta. Populasi tikus juga bisa dikendalikan. Jika ada 100 ekor tikus itu bisa jadi hama. Kalau jumlahnya lima masih aman. Keberadaan burung hantu menjaga rantai makanan di sawah berjalan seimbang.”

Warga Desa Gledeg, Awaludin Harhana, mengatakan tak mudah mengubah kesadaran masyarakat untuk mengembangkan burung hantu. Penolakan itu terjadi sebab hewan ini dinilai membawa petaka. Warga juga tak percaya Tyto Alba memangsa tikus.

“Baru pada suatu tempo, ada warga melihat burung hantu menerkam tikus di depan matanya. Barulah warga percaya. Kami juga menayangkan video dokumenter tentang burung hantu di setiap pertemuan RT/RW,” imbuh pria yang akrab disapa Udin itu.

Selain melarang perburuan burung hantu, lanjut Udin, di Gledeg juga dilarang aktivitas menyetrum dan berburu aneka binatang. Kendati ada satu dua pelanggaran, warga memberikan teguran persuasif alih-alih memberikan sanksi denda sebagaimana disebut dalam Perdes.

“Tapi secara umum, akvititas itu [berburu dan menyetrum] sudah jauh berkurang. Hal ini demi keberlangsungan ekosistem yang seimbang,” harap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya