SOLOPOS.COM - Ilustrasi petani membajak sawah. (JIBI/Solopos/Antara/Fikri Yusuf)

Pertanian Boyolali, lahan bengkok Desa Manggung tidak laku dilelang meski harganya murah.

Solopos.com, BOYOLALI — Lahan bengkok Desa Manggung, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, tak laku dilelang meski dengan harga sangat murah. Hal itu diduga karena krisis generasi petani.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Kepala Desa Manggung, Marsono, mengatakan saat ini mencari warga yang mau menggarap lahan pertanian sangat langka. Salah satu penyebabnya banyak warganya yang beralih pekerjaan menjadi tukang kayu dan usaha mebel.

“Lahan-lahan bengkok desa saja itu susah laku kalau dilelang, kecuali oleh teman sesama perangkat desa sendiri. Bahkan, ada lahan yang menganggur karena enggak laku lelang,” ujar dia saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu (22/1/2017).

Selain alasan alih pekerjaan di industri mebel, kata dia, keberadaan generasi muda penerus petani saat ini nyaris musnah. Anak-anak muda tak lagi meminati pertanian, apalagi menjadi pekerja atau menggarap lahan.

“Mungkin ada generasi yang sekolah di fakultas pertanian, tapi yang mau terjun ke sawah langsung tak banyak. Jadinya, saat ini banyak lahan pertanian tak tergarap, termasuk lahan bengkok desa,” paparnya.

Dia menjelaskan standar harga lelang lahan bengkok di atas Rp6 juta/ patok. Namun, karena sepi peminat, lahan bengkok dilelang seharga Rp4 jutaan. Itu pun, kata dia, sangat susah laku kecuali di kalangan perangkat desa .

“Hitung-hitungan menjadi petani dibandingkan bisnis mebel sangat jauh hasilnya. Jadi petani biaya operasional sangat berat, hasilnya minim, panen tiga bulan sekali. Itu belum lagi kalau gagal panen. Makanya, sekarang susah mencari generasi baru petani,” paparnya.

Ketua Gabungan Perkumpulan Petani Pengguna Air (GP3A) Tri Mandiri, Samidi, tak menyangkal fakta terjadinya krisis generasi petani saat ini. Kenyataan pahit itu diperparah dengan kian menyempitnya lahan pertanian akibat banyaknya proyek pembangunan, kurang pedulinya pemerintah terhadap nasib petani, serta permasalahan tumpang tindihnya kebijakan.

Menurut dia, hancurnya dunia pertanian itu terjadi sejak satu dasawarsa terakhir, di mana pertanian tak lagi menjadi perhatian utama pemerintah. “Dulu waktu zaman Pak Harto, pertanian benar-benar diperhatikan sampai saluran irigasi selalu dijaga. Sekarang, pertanian sama sekali enggak diperhatikan. Saluran irigasi rusak semua. Itu terjadi merata se-Indonesia,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya