SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Dok)

Pertanian Bantul, luas lahan di Kasihan menurun.

Harianjogja.com, BANTUL — Lahan pertanian di Kecamatan Kasihan kini tinggal tersisa 695 hektare karena terus terdesak oleh perumahan. Lahan pertanian belum menjadi prioritas yang harus dilindungi dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan (RDTRK).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPRD Bantul yang menangani pembahasan Raperda RDTRK Kecamatan Kasihan Bibit Rustamta mengatakan, hingga saat ini Pemkab dan Dewan belum menyepakati Raperda mengenai RDTRK Kecamatan Kasihan yang didalamnya memuat perlindungan terhadap lahan hijau atau pertanian.

Ekspedisi Mudik 2024

“Ada beberapa hal yang masih menjadi persoalan kenapa pembahasan belum selesai, di antaranya soal kepastian lahan hijau. Pansus prinsipnya mempertahankan masih adanya lahan hijau meski Kasihan digadang-gadang sebagai kawasan industri,” ungkap Bibit Rustamta, Jumat (15/9/2017).

Padahal kata dia, lahan pertanian di Kasihan terus menyusut. Saat ini dari total 3.283 hektare luas wilayah Kecamatan Kasihan, luas lahan pertanian baik sawah maupun tegalan tinggal tersisa sekitar 695 hektare pada 2016 lalu. Dalam setahun lahan pertanian susut puluhan hektare karena terdesak perumahan.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, jumlah lahan pertanian baik sawah maupun tegalan di Kasihan masih tersisa 718 hektare. Artinya dalam setahun, terjadi penyusutan hingga 23 hektare, hanya satu kecamatan saja. Pansus kata dia menargetkan sedikitnya 242 hektare lahan pertanian harus dipertahankan dan ditetapkan sebagai lahan abadi berkelanjutan.

“Karena Kabupaten Bantul sendiri alokasi lahan abadi pertanian berkelanjutan mencapai 13.000 hektare seluruh kecamatan,” tuturnya.

Ia khawatir, lahan pertanian yang tersisa akan terus terdesak hingga habis karena wilayah ini sesuai skenario Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) digadang-gadang sebagai kawasan industri. “Kalau lahan pertanian habis lalu kita mau makan apa,” tutur dia.

Kepala Desa Bangunjiwo, Kasihan Parja mengatakan, di desanya saja dalam lima tahun lahan pertanian susut hingga sepuluh hektare baik sawah maupun tegalan. Pemerintah kata dia tidak berkuasa mencegah jual beli atau alih fungsi lahan yang dilakukan warga.

“Kebanyakan kasusnya di sini, penduduk jual lahan sawah ke penduduk luar daerah, lalu oleh penduduk luar dibangun rumah. Sehingga banyak rumah-rumah itu tidak ada IMB [Izin Mendirikan Bangunan] karena tidak bisa dikeluarkan kalau statusnya masih sawah [bukan lahan pekarangan],” jelas Parja. Sementara warga asli kata dia berdalih, hanya memiliki lahan satu-satunya untuk dijual dan menghasilkan keuntungan.

Salah satu cara mengamankan lahan pertanian tersebut menurut Parja adalah mempercepat sertifikasi lahan abadi berkelanjutan. Sertifikasi lahan abadi berkelanjutan menetapkan, lahan pertanian tersebut tidak boleh dialihfungsikan untuk jangka waktu minimal sepuluh tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya