SOLOPOS.COM - Sejumlah pengendara antri di jalan raya untuk mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Kampak, Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu (11/12/2021). Kelangkaan BBM jenis Pertalite, Premium, Solar dan Pertamax terjadi di SPBU yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya di Kota Pangkalpinang sejak Jumat (10/12). ANTARA FOTO/Resha Juhari/Lmo/nym.

Solopos.com, JAKARTA–Pertamina, BPH Migas dan Komisi VII DPR membahas tentang kelangkaan solar di sejumlah daerah di Tanah Air, Selasa (29/3/2022).

Baca Juga: Solar Langka, Pelaku Angkutan Logistik Pilih Mogok

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto menghendaki penjelasan terkait sistem distribusi BBM. “Komisi VII perlu mendapat penjelasan secara komprehensif mengenai kuota dan sistem distribusi BBM agar diperoleh solusi yang optimal, yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat,” kata Sugeng saat membuka RDP.

Kepala BPH Migas Erika Retnowati, menyampaikan permintaan bahan bakar solar subsidi mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi solar disebabkan oleh menggeliatnya kegiatan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

“Sejak kuartal IV-2021, di mana level PPKM sudah diturunkan menjadi level I, terjadi peningkatan konsumsi Jenis BBM tertentu atau JBT [BBM bersubsidi] dan tren konsumsinya terjadi sampai dengan saat ini. Artinya terus meningkat dan pada Maret ini permintaan masih tinggi,” papar Erika dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (29/03/2022).

Baca Juga: Pertamina Akui Solar Subsidi Langka, Ini Penyebabnya

Selain itu, peningkatan harga komoditas pertambangan seperti batu bara dan perkebunan turut meningkatkan permintaan logistik. Kondisi ini memicu meningkatnya konsumsi solar. Di sisi lain, disparitas harga antara solar subsidi dan non-subsidi semakin melebar.

Sebagai catatan, harga Solar subsidi kini masih dijual Rp5.150 per liter, sementara harga Solar nonsubsidi seperti Dexlite kini sudah mencapai Rp12.950 per liter. Hal tersebut mendorong adanya pergeseran konsumen untuk mengkonsumsi solar subsidi daripada solar nonsubsidi.

Baca Juga: Pertamina Patra Niaga Jamin Pasokan Solar Subsidi Aman

“Melebarnya diparitas harga tersebut menyebabkan pergeseran konsumen yang tadinya konsumsi solar nonsubsidi ke solar subsidi. Selain itu, adanya potensi penyalahgunaan JBT. Jadi di beberapa tempat memang kami menemukan adanya penimbunan dan pengoplosan atas JBT solar ini,” imbuhnya .

PT Pertamina (Persero) meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali formula harga dasar Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan besaran subsidi tetap solar senilai Rp500 per liter saat sudah tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan, terutama ketika selisih dengan harga pasar atau solar nonsubsidi kini sudah sangat jauh yaitu mencapai Rp7.800 per liter.

Oleh karena itu, subsidi tetap Rp500 per liter sudah tidak mencerminkan kondisi di lapangan. Walaupun selebihnya Rp7.300 per liter akan diberikan pemerintah dalam bentuk kompensasi ke Pertamina, akan tetapi, hal ini juga berdampak pada arus kas Pertamina karena pemberian kompensasi memerlukan waktu.

Baca Juga: Sita 108 Ton Solar Oplosan, Polda Sumsel Bongkar Sindikat Pengoplos BBM

“Mekanisme hari ini untuk Solar itu ada subsidi tetap Rp500 per liter. Padahal selisihnya dengan harga pasar Rp7.800 per liter. Sisa Rp7.300 per liter dalam bentuk kompensasi yang kemudian dari sisi penetapan angkanya nanti penggantiannya berbeda, ini butuh waktu, sehingga ini yang menggerus cash flow Pertamina. Mungkin mekanisme ini perlu di-review ulang agar tidak memberatkan,” urai Nicke.

Nicke mengusulkan digitalisasi melalui penggunaan aplikasi My Pertamina agar pengguna solar subsidi tepat sasaran. “Diperlukan ketentuan pemerintah/BPH Migas yang lebih detail terkait segmen konsumen yang berhak karena kuota Solar subsidi 2022 turun 5% dibandingkan 2021,” ungkap Nicke.

Nicke mencatatkan dari sisi permintaan, konsumsi solar subsidi telah melebihi 10% dari kuota yang telah ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi penyaluran Solar subsidi hingga Februari 2022 mencapai 2,49 juta kilo liter (kl), atau 10 persen lebih tinggi dari kuota yang ditetapkan hingga Februari 2022. Hingga akhir tahun pemerintah juga memproyeksikan, penyerapan Solar subsidi melampaui 14 persen dari kuota yang telah ditetapkan sebesar 15,1 juta kl atau mencapai 16,002 juta kl hingga akhir tahun ini.

Berita telah tayang di Bisnis.com berjudul Pertamina, BPH Migas, Kementerian ESDM, dan DPR Berembug Bahas Kelangkaan Solar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya