SOLOPOS.COM - Sejumlah penghayat aliran kepercayaan menjalankan ritual di Punthuk atau Gumuk Segaran di Taman Sriwedari Solo, Kamis (23/6/2022) malam Jumat Legi. (Solopos/Mariyana Ricky P.D.)

Solopos.com, SOLO — Meski jumlahnya terus menurun, organisasi penghayat kepercayaan di Kota Solo berusaha untuk terus menjaga eksistensi. Seperti yang dilakukan sekelompok orang di joglo kecil di Punthuk atau Gumuk Segaran di Taman Sriwedari Solo, Kamis (23/6/2022) malam Jumat Legi.

Di tengah gelap, sekitar tujuh orang berbusana khas Jawa berkumpul dan duduk di tengah gumuk. Di depan mereka ada tampah berisi sesajen, antara lain ada air bunga mawar dan dua sisir pisang raja. Tak berapa lama, lilin-lilin di sekitar sesajen dinyalakan sehingga cahayanya sedikit menerangi Gumuk Segaran. 

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Sekitar pukul 21.00 WIB, salah seorang pria menyanyikan tembang Jawa, tanda acara dimulai. Selanjutnya seorang pria yang lebih tua memimpin doa dalam bahasa Jawa. Intinya memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya memberikan petunjuk kepada umat manusia agar bisa menjalani kehidupan dengan baik. 

Di tengah rapalan doa, tiga orang lagi datang dan duduk di barisan belakang. Para penghayat kepercayaan di Solo itu bergabung dalam sebuah ritual menghadap Sang Pencipta. 

“Aktivitas ini baru dua kali kami laksanakan pada tahun ini. Sebagai upaya menghidupkan kembali napak tilas tempat-tempat yang dahulu menjadi lokasi turunnya wahyu bagi para pembesar Jawa sejak zaman Kerajaan Pajang hingga Kasunanan Surakarta,” tutur salah seorang peserta bernama Mbah Jantit.

Baca juga: 7 Ormas Penghayat Kepercayaan Eksis di Kota Madiun

Ketua II Persatuan Warga Teosofi Indonesia (Perwatin) Solo ini menjelaskan ritual diikuti anggota dari empat paguyuban penghayat kepercayaan di Solo. Selain Perwatin, ada Pelajar Kawruh Jiwa, Papandayan (Pancasila Handayaningratan), dan Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati.

Ada pula dua orang penghayat yang tak bergabung dalam paguyuban. Mbah Jantit mengaku tradisi seperti ini bakal dihidupkan secara rutin di sejumlah punden atau petilasan lain. “Pada 1980-an hingga 1990-an saya sempat menggelar tradisi jalan kaki dari Museum Keris [dulu RSJ Mangkujayan] ke Punthuk Segaran.”

Jaminan Pemerintah

“Saat itu saya mengalami persekusi. Saya di-sweeping gerombolan tak dikenal. Setelah itu tradisi ini mulai jarang atau tidak dilakukan secara terang-terangan. Kini kami mencoba menghidupkan kembali,” ucap Mbah Jantit.

Ia mengaku tak lagi khawatir dengan ulah kelompok tak dikenal itu karena yakin kepercayaannya sudah mendapat jaminan dari pemerintah. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal status administrasi penghayat kepercayaan telah diambil berdasarkan kajian hukum dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Segaran Taman Sriwedari, Kota Solo, Jawa Tengah tempo dulu. (sastra.org)

“Pidato Kapolri yang menyebar di WhatsApp Group soal kebebasan menjalankan ibadah sesuai kepercayaan dan keyakinan masing-masing kami jadikan pegangan. Kami tenang saja sekarang. Memang kami akui sweeping tersebut berpengaruh terhadap kami. Namun itu bukan satu-satunya,” kata dia.

Mbah Jantit mengatakan problem terbesar yang dihadapi penghayat kepercayaan termasuk di Solo terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Waktu itu pemerintah memaksa penghayat kepercayaan memilih agama yang diakui pemerintah.

Bagi yang menolak akan dianggap sebagai kaum tak beragama yang berafiliasi dengan organisasi terlarang, salah satunya Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya banyak penghayat kepercayaan yang tidak berani muncul.

“Setelah ada PAKEM, HPKI, dan MLKI, perlahan kami mulai menunjukkan eksistensi. Jaminan itu juga ada lewat putusan MK,” ucap Mbah Jantit yang masih mencantumkan agama resmi pada kolom agama di KTP miliknya.

Baca juga: PDM Solo Sebut Pencantuman Penghayat Kepercayaan di Kolom Agama E-KTP Rawan Masalah Baru

Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Kedudukan Hukum

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan enam agama yang diakui pemerintah. Ketua MK Arief Hidayat mengungkatkan Majelis Hakim MK mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Kedua, menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diubah dengan UU No 24/2013 tentang Perubahan Atas UU No 23/2006 bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, lanjut Arief, juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan. MK juga memutuskan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

MK menyatakan status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu memerinci aliran kepercayaan yang dianutnya karena jumlah penghayat kepercayaan sangat banyak dan beragam.

Baca Juga: Penghayat Kepercayaan di Solo Kian Pudar, Sederet Faktor Jadi Pemicu

Salah seorang penghayat kepercayaan yang tak bergabung dengan organisasi di Solo, Didit Rudendar Widyatmojo, menyebut kepercayaannya adalah manembah marang Gusti Akarya Jagad. “Kami nguri-uri, di Punthuk Sriwedari pada masa dahulu, Paku Buwono X [Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat] kerap memberi wejangan kepada warga. Dia juga menerima wahyu di sini,” katanya.

Tak hanya PB X, sosok Tumenggung Kalabendu dari Kerajaan Pajang juga mendapatkan wahyu atau petunjuk dari Tuhan di lokasi itu. “Kami mendatangi tempat-tempat yang kami percaya memiliki kekuatan. Kepercayaan yang saat ini sudah asing di masyarakat, kami lestarikan,” ucap Didit. 

Ketua DPRD Kota Solo, Budi Prasetyo menghadiri musyawarah Paguyuban Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati Kota Solo di Hotel Kusuma Sahid Prince (KSPH), Sabtu malam (11/6/2022).

Didit mengaku belum mengganti kolom agama di KTP. Hal itu dianggapnya akan merepotkan persoalan administrasi kependudukan bagi putra-putrinya. Persekusi juga dialami Rini Lastri, seorang perempuan penghayat Sapto Darmo di Kecamatan Banjarsari, Solo.

Toleransi Masyarakat Sekitar

Tempat ibadahnya, Sanggar Candi Busana (SCB), yang menempati halaman kediaman orang tuanya didatangi kelompok intoleran. Mereka berniat menyerang namun gagal karena perlindungan masyarakat sekitar.

“Saya tidak ingat kapan pastinya, saat peristiwa itu terjadi, saya dan keluarga sedang tidak ada di rumah. Posisi SCB kosong karena kami sedang ada tugas di SCB Pajang. Saat kami pulang, warga membuat palang dari bambu di depan gang menuju rumah dan SCB kami. Bapak-bapak kampung berkumpul di depan palang bambu itu,” tuturnya, Jumat (24/6/2022).

Tetangga dan masyarakat sekitar bergotong-royong melindungi SCB. “Mereka bercerita tadi ada gerombolan yang berniat merusak tapi beruntung ketahuan warga sehingga bisa dicegah. Warga lantas berinisiatif bikin palang itu kalau-kalau mereka kembali. Ini menunjukkan sebenarnya warga sangat toleran,” imbuh Rini.

Baca juga: Penghayat Kepercayaan di Bantul Khawatirkan Diskriminasi

Ia juga mengatakan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo juga bersikap toleran terhadap para penghayat kepercayaan. Waktu itu, Wali Kota Solo periode 2000-2005, Slamet Suryanto, hadir dalam peresmian SCB.

Secara pribadi, Rini mengaku jarang mendapat sikap kurang menyenangkan dari orang lain. Karena ia juga tak banyak berinteraksi atau berkecimpung dalam aktivitas yang melibatkan banyak orang. Namun adiknya yang bekerja di instansi pemerintahan mengaku pernah mendapat cibiran. 

“Dia sering menjadi sorotan dan gunjingan bagi beberapa orang yang menganggap penghayat sebagai orang tidak beragama dan ber-Tuhan. Tetapi lambat laun mereka bisa menerima melalui obrolan-obrolan ringan,” kisahnya.

Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif, menilai pemerintah masih harus menggiatkan sosialiasi mengenai kesetaraan hak antara penghayat kepercayaan dan pemeluk agama.

Peserta membentangkan bendera merah putih mengelilingi Candi Borobudur saat peringatan Hari Lahir Pancasila di Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (1/6/2022). Kegiatan pembentangan bendera sepanjang satu kilometer yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat tersebut sebagai wujud semangat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menjaga dasar negara Pancasila. Pemegang simbol Pancasila adalah Sekretaris MLKI Solo, Gress Raja. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/YU

 



Negara punya kewajiban menghormati, melindungi, dan melayani para penghayat kepercayaan. Negara juga harus mengadvokasi dan memastikan para penghayat memiliki ruang aman dan nyaman untuk menjalankan keyakinannya.

“Semua orang boleh punya argumentasi apapun, tapi negara harus hadir untuk melindungi keamanan dan memberi kenyamanan bagi penghayat. Negara harus memberikan pemahaman soal penghayat dan relasinya dengan agama kepada seluruh warga negara,” kata dosen yang akrab disapa Ancu kepada Solopos.com, Rabu (22/6/2022).

Berbeda Tapi Setara

Ia mengingatkan putusan MK dengan tegas sudah menghadirkan norma konstitusi bahwa agama dan kepercayaan itu berbeda tapi setara. Mereka mendapatkan jaminan yang sama sesuai Pasal 29 UUD 1945, ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Kemudian ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

“Negara wajib mengadvokasi implementasi dari norma konstitusi. Hak [agama/kepercayaan] melekat pada individu warga negara bukan pemberian,” tegasnya. Pemerintah masih harus terus didorong untuk melakukan transformasi dari politik agama rezim menjadi politik kebebasan beragama. Agama itu banyak, ada agama leluhur, nusantara dan kepercayaan. 

Baca juga: Penghayat Kepercayaan Semakin Diterima Masyarakat

Mayoritas penghayat  kepercayaan juga masih merasakan tendensi eksklusif dari kelompok agama. Belum banyak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di daerah yang bisa menerima Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Mahaesa masuk dalam forum ini.

“Kalau saya mendeklarasikan organisasi (kepercayaan), atau mengganti kolom agama, dampaknya bagaimana? Apakah makin eksklusif, mudah dibubarkan, atau mendapatkan diskriminasi dan persekusi?” tanyanya.

Ancu juga melihat pengisian kolom agama pada KTP yang sesuai putusan MK masih menimbulkan dilema dan menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan penghayat kepercayaan. Mereka masih memiliki banyak pertanyaan karena dampaknya terhadap relasi penghayat dengan masyarakat.



wayang semar raksasa
Peserta kirab membawa wayang kulit tokoh Semar berukuran besar dan membawa bendera merah putih sepanjang 1.000 meter dalam Kirab Jaga Wayang, Selasa (15/3/2022), dari Museum Keris menuju Museum Radyapustaka, Kota Solo, Jawa Tengah. Sejumlah organisasi penghayat kepercayaan ikut menjadi peserta (Solopos.com/Nicolous Irawan)

“Untuk sampai mengganti kolom agama KTP itu soal kenyamanan,” tambahnya. Ada soal relasi dengan tetangga keluarga. Ini soal sepele tapi secara sosial dan emosional itu sangat signifikan. Sementara dari negara, jaminannya belum meyakinkan. 

Urusan pernikahan dan pendidikan juga belum mendapatkan layanan yang semestinya. Semua fenomena itu turut berkontribusi pada surutnya jumlah penghayat kepercayaan. 

Tetapi sejarah panjang yang sudah dilalui oleh berbagai organisasi penghayat kepercayaan itu justru memicu semangat mereka untuk mempertahankan diri. Negara juga hadir hadir karena para penghayat kepercayaan adalah warga negara yang hak-hak sipilnya wajib dilindungi.

 

Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya