SOLOPOS.COM - Ilustrasi pernikahan. (Freepik.com)

Solopos.com, SRAGEN — Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Danang Sasongko, ikut angkat bicara terkait kasus pernikahan dini yang melibatkan anak perempuan usia 12 tahun di Sragen.

Anak perempuan itu menikah dengan remaja laki-laki berusia 17 tahun. Danang menilai masih banyak masyarakat yang belum paham terkait risiko dari pernikahan diri. Selain itu, kemudahan mendapat dispensasi nikah membuat masyarakat cenderung menganggap enteng pernikahan dini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Selain bisa memutus akses pendidikan, kata Danang, pernikahan dini mengancam kesehatan reproduksi wanita hingga rawan terjadinya kasus perceraian. Danang menilai kebijakan dispensasi nikah perlu dievaluasi.

Baca Juga: Terus Bertambah, Seratusan Pengelola Parkir Solo Ajukan Keringanan Setoran Retribusi

“Kendalanya ada pada pemahaman masyarakat suatu daerah yang justru merasa bangga kalau sudah nikah pada usia dini. Mereka bangga sudah bisa menjadi tulang punggung keluarga. Mereka merasa bisa bebas lakukan apa saja setelah menikah, termasuk kegiatan eksploitasi secara ekonomi,” papar Danang Sasongko kepada Solopos.com, Selasa (2/2/2021).

Danang menjelaskan butuh kerja sama lintas sektoral untuk menekan angka pernikahan dini termasuk di Sragen. Terbitnya UU No 16/2019 tentang Perubahan Atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan mengamanatkan batas usia pria dan wanita yang akan menikah minimal 19 tahun.

Penggunaan Smartphone

Aturan itu ternyata tidak cukup ampuh untuk menekan angka pernikahan dini. Penyebabnya, menurut Danang, masyarakat masih bisa mendapatkan dispensasi kawin secara mudah dari Pengadilan Agama.

Baca Juga: Kontak Dengan Pasien Positif Covid-19, 300 Warga Madiun Ikut Tes Swab Massal

“Kemudahan dalam mendapatkan dispensasi kawin ini membuat masyarakat menganggap enteng masalah pernikahan dini. Kemudahan dalam mendapatkan dispensasi kawin itu yang perlu dievaluasi,” tegas Danang.

Danang menilai faktor penggunaan smartphone secara berlebihan turut memengaruhi meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak. Berdasar survei Komnas PA, selama pandemi Covid-19, ponsel yang dibawa anak sekolah hanya 40% untuk kegiatan belajar daring.

Baca Juga: Tebing Lereng Bukit Sidoguro Klaten Longsor Timpa Gedung Olahraga Milik Kades

Sebanyak 60% sisanya untuk banyak hal seperti bermain Tiktok, chatting, main game, mengakses konten dewasa, dan lain-lain.

“Dari 2.670 laporan kasus kekerasan terhadap anak [sepanjang 2020], 52% adalah kekerasan seksual. Ada yang berdalih suka sama suka, padahal itu pasti ada bujuk rayu dan tipu daya. Ini yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah yang berujung pada pernikahan dini,” papar Danang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya