Solopos.com, SOLO — Tujuh dari sepuluh kasus kejahatan seksual yang menimpa anak-anak selama ini berujung damai. Artinya, kedua belah pihak keluarga sama-sama sepakat untuk menikahkan anak-anak mereka meskipun sebenarnya belum layak menikah. Sementara, sisanya berlanjut ke proses hukum dan sebagian kabur.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Kenyataan itu menjadi anjakan utama Laporan Khusus di Harian Umum Solopos, Senin (29/7/2013). “Jarang ada keluarga menempuh jalur hukum jika anaknya telah hamil. Mayoritas diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, yakni dinikahkan,” ujar Tarmuji, salah seorang warga Baturetno, Wonogiri yang kerap menyaksikan pernikahan anak-anak di bawah umur karena hamil, Kamis (25/7/2013).
Menurut Tarmuji, orangtua korban dan pelaku kejahatan seksual biasanya shock dan tak tahu apa yang mesti diperbuat jika anak-anak mereka telanjur melakukan tindakan melampaui batas. Dalam ketidaktahuan inilah, biasanya mereka didamaikan pihak perangkat desa agar aib keluarga tak sampai meluas.
“Bahkan, pihak perangkat desa membantu mengurus surat dispensasi perkawinannya. Yang penting, aib keluarga terjaga dan pelaku mau bertanggungjawab untuk menikahi,” paparnya.
Meski demikian, sambung Tarmuji, dalam perjalanannya, pernikahan karena “kecelakaan” tersebut tak berumur lama. Kalaupun bertahan, biasanya diliputi dengan kerawanan masalah ekonomi dan sosial. “Anak-anaknya enggak terurus. Bapaknya kerap minggat dengan alasan mencari kerja. Sementara istrinya ditinggal di rumah,” jelasnya.
Kondisi memprihatinkan inilah yang selalu terulang dari waktu ke waktu. Padahal sejatinya tindakan kekeluargaan itu dianggap sebagian kalangan justru menyesatkan. Lalu apa solusinya? Baca di sini.