SOLOPOS.COM - Sejumlah warga bersama Pekerja Seks Komersil (PSK) di lokalisasi Dolly menggelar doa bersama di Jalan Putat Jaya, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (18/6/2014) malam. Doa bersama tersebut terkait Deklarasi Surabaya Bebas Prostitusi di Islamic Center Surabaya dan penutupan kawasan lokalisasi Dolly yang digagas Pemerintah Kota Surabaya. (JIBI/Solopos/Antara/Suryanto)

Seorang siswi kelas 1 SD di Surabaya menderita kecanduan seks dan diduga karena terpengaruh lingkungan di Dolly.

Solopos.com, SURABAYA — Salah satu kekhawatiran Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang menjadi alasannya menutup lokalisasi di kawasan Dolly adalah dampak buruk terhadap anak-anak. Apa yang dikhawatirkan Risma muncul pada seorang anak perempuanyang pernah tinggal di kawasan itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pemerintah Kota Surabaya menemukan anak perempuan usia delapan tahun berinisial YK, yang mengalami kecanduan seks (sexual addiction). “Saat ini sudah dilakukan pendampingan oleh psikolog,” kata Kepala Dinas Pengendalian Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) Kota Surabaya Nanis Chairani di Surabaya, Kamis.

Ia mengatakan kasus ini ditemukan saat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memerintahkan kepada jajarannya di tingkat kecamatan dan kelurahan untuk mencari warganya yang mengalami kondisi buruk.

Dalam pencarian itu ditemukan keluarga yang anggotanya menderita sakit TBC. Setelah dilakukan pendekatan kepada keluarga tersebut, akhirnya si ibu juga bercerita bahwa salah satu anaknya mengalami perilaku seks yang menyimpang. “Artinya, anak tersebut belum waktunya sudah berperilaku seperti orang dewasa,” katanya.

Menurut dia, pihaknya kemudian melakukan pendekatan dan melakukan koordinasi bersama puskesmas untuk memberikan pengobatan kepada anak tersebut.

Nanis mengatakan perilaku anak tersebut didapatkan saat sebelumnya ia tinggal bersama neneknya di kawasan eks lokalisasi Dolly. Saat itu, usianya masih dua tahun. Faktor lingkungan yang membuat anak tersebut mengalami perilaku menyimpang.

Perilaku anak tersebut diketahui saat ia tinggal bersama ibunya. Anak itu mempraktikkan perilakunya kepada adik-adiknya. “Dari pengakuan anak tersebut, ia diajari oleh orang dewasa, pada saat ia tinggal bersama dengan neneknya,” ujarnya.

Menurut Nanis, keberadaan lokalisasi memang sangat membahayakan utamanya berpengaruh merusak otak maupun perilaku anak. Terdeteksinya kasus seperti itu, lanjut dia, harus segera digali lebih dalam untuk mengetahui kemungkinan adanya anak-anak dengan kondisi yang sama.

“Tujuan utamanya bagaimana supaya anak-anak bisa tumbuh berkembang dengan wajar dan bisa berprestasi, bisa mempunyai masa depan yang cerah,” katanya.

Ia mengatakan DP5A mempunyai lembaga yang khusus menangani permasalahan anak dan perempuan, lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan Dan Anak (PPTP2A) di lingkup kota, dan Pusat Krisis Berbasis Masyarakat (PKBM) di lingkup kecamatan. “Warga Surabaya bisa datang langsung ke tempat tersebut untuk mendapatkan informasi terkait permasalahan anak dan perempuan,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya Febria Rachmanita menyampaikan, untuk memulihkan kondisi anak tersebut, pihaknya telah melakukan pendampingan. Bentuk pendampingan itu berupa pengobatan maupun pendampingan psikiater dan psikolog.

“Untuk menangani pasien seperti ini, tidak hanya pasiennya saja, keluarganya pun kami ajak, jadi keluarga itu kita gali juga dari psikolog,” ujarnya.

Febria juga menyampaikan pihaknya terus melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat sebagai upaya deteksi dini dan pencegahan terhadap permasalahan anak. “Dengan melakukan pengawasan terhadap anak, diharapkan tidak terjadi lagi kasus yang tadi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya