SOLOPOS.COM - Salah satu adegan film G 30 S/PKI. (Detik)

Solopos.com, SOLO-Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI  yang pernah menjadi tontonan wajib setiap tanggal 30 September di masa Orde Baru, ternyata memiliki  proses produksi  panjang yaitu dua tahun. Sinema bertema sejarah ini juga melalui proses riset yang panjang.

Sutradara Arifin C. Noer diberi tugas untuk mengerjakan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI ini oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN)  yang mempunyai kontrol atas produksi film ini. Biaya film ini senilai Rp800 juta mendapat pendanaan dari pemerintah kala itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Produksi Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI awalnya berjudul Sejarah Orde Baru, memakan waktu hampir dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film.  Sinematografi film ini ditangani oleh Hasan Basri, dengan penataan musik oleh saudara Arifin, Embie C. Noer. Penyuntingan film diterapkan oleh Supandi.  Anggota dari film, khususnya sepuluh menit penghabisan, mempergunakan kembali rekaman arsip dan kliping koran kontemporer kala itu yang sehubungan peristiwa tersebut.

Baca Juga: Wah Seram! Boneka Raksasa di Squid Game Benaran Ada di Dunia Nyata

Sebelum menggarap Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, Arifin C. Noer  mempunyai pengalaman sebelumnya dalam genre ini setelah membikin film perang Serangan Fajar (1981). Profesor budaya Indonesia Krishna Sen dan David T. Hill berpendapat bahwa masukan kreatif Arifin C. Noer sangat minim dalam film ini.

Sebaliknya, untuk segala maksud dan tujuan, film ini adalah karya produsernya, Brigadir Jenderal Gufran Dwipayana, yang kala itu menjabat sebagai Kepala PPFN sekaligus anggota staf kepresidenan. Namun, istri Arifin C. Noer, Jajang C. Noer, bersikeras bahwa suaminya tetap bersikap independen ketika pembuatan film ini.

Mengutip laman unkris.ac.id, Rabu (29/9/2021), skenario Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI didasarkan pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia. Buku yang dimaksudkan untuk melawan teori asing tentang kudeta tersebut, menjelaskan secara rinci Gerakan September 30 ini sebagaimana pemerintah melihatnya.  Hanya Notosusanto, yang berpangkat lebih tinggi dari dua penulis tersebut, dihargai untuk kontribusinya.

Baca Juga: 4 Tanda Anda Tidak Bahagia Dilihat dari Sisi Psikologis

Dalam mengadaptasi buku tersebut, Arifin C. Noer membaca banyak literatur yang tersedia (termasuk dokumen pengadilan) dan mewawancarai sejumlah saksi mata. Istri Arifin C. Noer, Jajang, dalam sebuah wawancara pada 1998, mengatakan bahwa suaminya tidak hanya membaca versi resmi pemerintah, tetapi juga dokumen Cornell Paper yang kontroversial, yang menggambarkan bahwa peristiwa kudeta ini sepenuhnya merupakan urusan intern Tingkatan Darat.  Selama syuting, kru menekankan realisme, “memberikan perhatian akbar terhadap detail” dan mempergunakan rumah sebenarnya dari para jenderal yang diculik dalam peristiwa tersebut.

Sebab  pencarian pemeran, termasuk beberapa anggota 100 peran kecil dan lebih dari 10.000 pemeran tambahan,  adalah sulit. Arifin C. Noer mencoba untuk memilih aktor yang mirip dengan tokoh-tokoh sejarah yang digambarkan di film itu. Aktor Rano Karno mengingat bahwa dia gagal mendapatkan peran Pierre Tendean sebab Tendean tidak mempunyai tahi lalat di wajahnya.

Akhirnya film ini dibintangi Bram Adrianto untuk Untung Sjamsuri, Amoroso Katamsi untuk Soeharto, Umar Kayam untuk Soekarno, dan Syubah Asa untuk DN Aidit; aktor lainnya selang lain Ade Irawan, Sofia WD, Dani Marsuni, dan Charlie Sahetapy. Umar Kayam tidak punya waktu untuk meriset perilaku Soekarno dari buku-buku dan pidatonya. Sebagai gantinya, dia menggambarkan presiden tersebut sesuai testimonial dari staf di Istana Bogor. Katamsi, di sisi lain, mempelajari peran Soeharto dari buku, dan ketika syuting telah dimulai, merasa seolah-olah dia “sebagai Pak Harto, bukan imitasi Pak Harto.”  Sementara itu, Syubah Asa menganggap kurang menguasai penampilannya sendiri.

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film dan Serial yang Mirip Squid Game

Produksi  film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI ini memakan waktu hampir dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film.  Penyuntingan film diterapkan oleh Supandi.  Anggota dari film, khususnya sepuluh menit penghabisan, mempergunakan kembali rekaman arsip dan kliping koran kontemporer kala itu yang sehubungan peristiwa tersebut.

Setelah selesai produksi dan sebelum ditayangkan secara komersial, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI disajikan pra-tayang untuk para perwira militer Indonesia berpangkat tinggi yang telah terlibat dalam operasi kudeta G30S/PKI, termasuk Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo.

Setelah melihat penayangan awal film ini, Soeharto menyarankan untuk membuat sekuelnya. Dua sekuel diproduksi oleh PPFN, Operasi Trisula (1987) dan Djakarta 1966 (1988).  Operasi Trisula disutradarai oleh BZ Kadaryono, menceritakan tentang pemberantasan PKI di Blitar, Jawa Timur. Sementara Djakarta 1966 disutradarai kembali oleh Arifin C. Noer.  Kayam dan Katamsi kembali mengambil peran mereka dalam film sekuel ini, yang memenangi tujuh penghargaan di Festival Film Bandung 1989.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya