SOLOPOS.COM - Suwartatik (kiri), 43, memamerkan produk Mom’s Craft di salah satu acara bazar UMKM di Wonogiri pada 2019. Tatik memanfaatkan limbah plastik kemasan untuk dijadikan berbagai aksesori perempuan seperti tas, dompet, dan bros. (Istimewa/Suwartatik)

Solopos.com, WONOGIRI — Suwartatik alias tatik, 43, warga Kelurahan Ngadipiro, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri, mulai memproduksi aneka barang aksesori perempuan berbahan sampah plastik kemasan sejak 2019. Di tangan Tatik, limbah plastik disulap menjadi aksesori, seperti tas, dompet, kotak tisu, dan bros.

Semula, Tatik mengaku resah dengan banyaknya sampah plastik di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Tatik tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan sampah-sampah itu menjadi barang yang berguna.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Waktu itu kebetulan ada teman yang mengajak saya ikut lokakarya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dari semua peserta, hanya saya yang belum punya usaha. Terus saya ditanya, mau usaha tidak? Saya jawab mau. Terus saya menyampaikan keresahan saya soal banyaknya sampah plastik kemasan. Saya ingin memanfaatkan itu,” kata Tatik saat dihubungi Solopos.com, Minggu (24/7/2022).

Setelah lokakarya, Tatik menerima mentoring membuat barang-barang seperti tas dan dompet dari sampah plastik kemasan. Dia kemudian membuka usaha produksi aksesori perempuan di rumahnya.

Berniat memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya, Tatik mengajak sembilan orang lain untuk bekerja sama memproduksi barang-barang tersebut.

Baca Juga: Sakjose! Warga Sambiroto Wonogiri Tak Lagi Buang Sampah Sembarangan Lo

Kelompok yang terdiri atas ibu-ibu rumah tangga itu menamakan merek dagang mereka, Mom’s Craft. Usaha Tatik berkembang.

Bahkan ia sempat beberapa kali menjadi pembicara dalam lokakarya pemanfaatan limbah plastik di luar kota. Sayangnya, Covid-19 mewabah di tahun 2020 hingga membuyarkan usaha yang sedang berkembang tersebut.

“Lantaran pandemi itu, kelompok yang awalnya ada 10 orang sekarang ini tinggal dua orang. Saya dan teman saya yang juga penjual sayur keliling. Mungkin ibu-ibu lain sibuk dengan kegiatan masing-masing dan tidak sabar. Maklum, waktu itu memang produksi barang sangat terhambat,” ujar dia.

Produk-produk yang ia jual masih dipasarkan secara luring. Tatik belum mampu memasarakan produknya secara digital atau daring. Sebab, pengetahuan tentang dunia digital masih minim.

Baca Juga: Ini Jenis Sampah yang Mendominasi di Area CFS Wonogiri

Mom’s Craft sempat memiliki akun media sosial Instagram yang dibuat pada 2019. Harapannya produk Mom’s Craft cepat dikenal masyarakat.

Media sosial itu tidak terkelola dan berlanjut dengan baik. Bahkan unggahan foto terakhir pada akun tersebut dilakukan akhir 2020.

“Kami baru memasarkan secara luring. Biasanya kalau ada bazar-bazar UMKM atau acara tentang pemanfaatan limbah sampah. Di situ biasanya banyak yang beli. Selain itu, menjual ke teman atau dari mulut ke mulut saja. Kami terkendala sumber daya manusia yang tahu soal digital marketing,” jelas Tatik.

Tatik mengaku pernah mencoba memasarkan produknya ke pasar-pasar tradisional di Wonogiri. Tetapi para pedagang dan konsumen di pasar tradisional menganggap remeh produk dari olahan sampah plastik kemasan. Tatik pun menjadi ragu jika memasarkan produknya ke pasar-pasar.

Baca Juga: Tong Sampah di CFS Wonogiri Overload, Ini Langkah Pemkab

Padahal harga yang ditawarkan Tatik masih terjangkau. Tas jinjing ukuran 30 cm x 20 cm dihargai Rp100.000/item. Dompet ukuran 20 cm x 12 cm dihargai Rp50.000/item. Kotak tisu dipatok Rp50.000/item. Sementara bros hanya dihargai Rp2.000/item.

Guna membuat satu tas, Tatik membutuhkan sedikitnya 400 plastik bekas bungkus kopi kemasan. Satu dompet dan satu kotak tisu masing-masing membutuhkan sekitar 50 plastik bekas bungkus kopi kemasan. Sedangkan satu bros hanya membutuhkan enam plastik bekas bungkus kopi kemasan.

Dia biasa mengumpulkan sampah-sampah plastik kemasan dari angkringan atau warung-warung kopi kemasan di sekitar Kecamatan Nguntoronadi. Para pedagang diminta tidak membuang sampah plastik kemasan.

“Waktu pengerjaan berbeda bergantung barang yang dibuat. Yang paling lama dibuat itu tas jinjing karena bisa memakan waktu sampai dua hari. Kalau yang paling cepat itu buat bros, satu jam sudah jadi dua bros,” katanya.

Baca Juga: Berangkat Lebih Dini, Cerita Pengangkut Sampah di Wonogiri saat Lebaran

Saat keadaan mulai normal seperti sekarang, Tatik ingin usaha yang sempat berkembang pesat itu bisa kembali membaik. Dia juga ingin usahanya dipasarkan secara digital.

Tatik berharap ada yang mau mengajarinya. Selama ini Tatik mengaku belum pernah mendapatkan pelatihan digital marketing dari siapa pun, termasuk pemerintah.

“Saat ini kami hanya memproduksi kalau ada pesanan dan acara bazar saja. Makanya ingin bisa menjual produk lewat online. Cuma ya itu, belum ada yang mengajari. Terus juga berharap keadaan bisa normal lagi. Bisa ada bazar dan ada lokakarya lagi. Alhamdulillah, kemarin ada lokakarya di sini. Saya mengajari ibu-ibu dari Kecamatan Jatisrono cara memanfaatkan limbah sampah plastik,” ungkap dia.



Salah seorang peserta lokakarya dari Desa tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, Marmi, menuturkan ibu-ibu dari desanya akan mengikuti jejak Tatik memanfaatkan limbah plastik. Sehingga plastik-plastik rumah tangga tidak terbuang sia-sia dan mencemari lingkungan.

Baca Juga: Kaum Boro Mudik saat Lebaran, Volume Sampah di Wonogiri Naik Signifikan

“Bagus banget. Kami jadi tahu cara memanfaatkan limbah plastik kemasan yang sering kami buang. Semoga kami bisa menerapkan ilmunya,” terang Marmi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya