SOLOPOS.COM - Dida Kurniawan Wibowo (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Jawa merupakan tempat berbagai pergumulan sosial-budaya. Pada masa lalu, Jawa menjelma menjadi sebuah pusat peradaban. Dari era Majapahit sampai Mataram Islam, Jawa selalu menjadi penyumbang khazanah kebudayaan di Nusantara.

Pulau ini terbentang dari ujung barat atau Selat Sunda hingga timur ke Selat Bali. Selain itu, pulau ini mempunyai dua sisi laut lebih tepatnya laut utara dan selatan. Namun, Denys Lombard (1996) lebih suka menyebut Jawa hanya mempunyai satu pantai, yakni pantai utara yang sering disebut pesisir.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pantai selatan mempunyai karakteristik dengan ombak ganas yang hampir setiap saat menerjang tebing-tebing di sekitarnya. Berbeda dengan pantai selatan, pantai utara mempunyai karakteristik ombak yang cukup tenang. Selain itu, pusat perdagangan seperti bandar dagang atau pelabuhan tumbuh subur di utara, bahkan belakangan berdiaspora ke beberapa kawasan lainnya.

Munculnya bandar dagang tersebut mengundang para musafir dari berbagai negara untuk berniaga ataupun tinggal menetap. Dapat ditarik kesimpulan bahwa jalur perdagangan di pantai utara Jawa memantik pertukaran dan persilangan budaya.

Lain halnya pantai selatan dengan karakteristik alam yang lebih ekstrem dan membuatnya jarang dilalui pelaut. Hal ini menyebabkan peradaban di daerah selatan mengalami stagnasi.

Banyak teori tentang masuknya Islam di Nusantara, khususnya Jawa, mengaitkan situasi tersebut. Perdagangan disinyalir merupakan perantara masuknya Islam di utara. Memang ada beberapa teori yang menyebut adanya tim khusus yang ditugaskan oleh Sultan Muhammad I dari Turki Ottoman untuk menyebarkan Islam di Jawa (Ajie Najmuddin, 2020:1). Kelompok khusus ini kemudian dikenal dengan sebutan Wali Songo.

Menurut kitab Kanzul Ulum, susunan dewan wali ini silih berubah-ubah hingga enam kali lewat kedalaman ilmu serta kearifan tingkat tinggi sesuai kompetensi dasar mereka. Dengan analisis sosial budaya yang tajam serta kemampuan mereka mengodifikasi ilmu tasawuf dengan sempurna, Islam bisa diterima. Meski berstatus pendatang, mereka mampu menarik perhatian masyarakat Jawa.

Wajah Jawa pada abad pertengahan mengalami transformasi baik dalam bidang sosial-budaya maupun teologi. Bukan pekerjaan mudah menyatukan dua kebudayaan besar: yang satu sudah mengakar dan yang lainnya merupakan pendatang. Beruntung para wali mempunyai kecerdikan tingkat tinggi. Sejarawan timur dari Skotlandia, H.A.R. Gibb, menjelaskan keberhasilan metode dakwah yang adaptif serta bersifat anti-konfrontatif dalam penyebaran Islam di Jawa merupakan keberhasilan paling menakjubkan di Asia Tenggara (Alwi Shihab, 2001:40). Asimilasi dan akulturasi dua kebudayaan besar menjadi perantara Islamisasi di Jawa.

Sinkretik atau Sufistik?

Membahas Jawa, baik ditinjau dari segi kehidupan sosio ekonomi politik atau sisi religiusitas, selalu menarik. Jawa mendapat perhatian lebih dari ilmuwan asing yang mempelajari budaya timur atau orientalis. Karya-karya sejarawan atau sosiolog kenamaan seperti Mulder, Geerzt, Zoetmoelder, Snouck Hurgronje, Pigeaud, G.W.J. Drewes, D.A. Rinkes, Pijper, dan De Graff tentang masyarakat Nusantara bermunculan di berbagai perpustakaan dunia (Irfan Afifi, 2019:13).

Tak hanya, mereka, gubernur jenderal semasa pendudukan Inggris di Hindia, Thomas Stamford Raffles, juga menuangkan pikirannya tentang Jawa lewat mahakaryanya History of Java. Semuanya memotret sosiologi masyarakat Jawa kala itu. Selain tentang masyarakatnya, riwayat penyebaran Islam di Jawa menjadi pembahasan yang selalu menarik dibahas.

Sebegitu besar sumbangsih mereka dalam ilmu pengetahuan terlebih era renaisans dan filsafat modern. Meski demikian, para orientalis tak luput dari kesalahan. Misalnya Geertz yang menyatakan Islam di Jawa sinkretik, yakni perpaduan dua unsur kebudayaan yang menjadi satu entitas bersama. Senada dengan Geertz, John Crawfurd lewat karyanya History of Indian Archipelago menyatakan Islam di Jawa merupakan Islam yang sudah dimodifikasi dengan penggabungan dua unsur tradisi Islam dan Hindu.

Terminologi sinkretik merupakan analogi baru dalam kajian pergulatan Islam di Jawa. Namun, penyebutan itu rasanya berlebihan seperti menelan mentah-mentah anggapan Islam sebagai pendatang di tanah Jawa. Sejatinya, Islam di Jawa bercorak sufistik bukan sinkretik. Nancy K. Florida, Indonesianis terkemuka dari University of Michigan, dalam wawancara yang dikutip Harian Kompas 2003 silam, mengatakan apa yang disangka sebagai elemen Hindu dalam kebudayaan keraton di Jawa adalah tasawuf.

Bahkan, jika kita mau mempelajari atau menelisik langsung lewat berbagai karya sastra Jawa yang berupa serat, wirid, maupun suluk, kita akan mengetahui langsung bahwa sejatinya Islam di Jawa sangat kental dengan tradisi tasawuf-sufistik. Contohnya adalah salah satu bait tembang dalam Serat Cebolek karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta R.Ng.Yasadipura II yang berbunyi “Punapa malih rasaning Kawi/Bima Suci kalihan wiwaha/Pan sami keh sasmitane/ Ngenting rasane ngelmu/Yen patitis kang mardikani/Kadyangga Kawi Rama/Punika Tesawuf.”

Artinya, “apalagi ‘rasanya’ [maknanya] Kawi//Bima suci dan Arjuna Wiwaha, sungguh penuh pralambangnya, sebuah ‘makna’ ilmu yang sangat dalam, jika tepat [dalam] menguliti maknanya, itu merupakan tasawuf”.

Bait dalam tembang karya Yasadipura II tersebut sangat dalam dan semakin menegaskan identitas ke-Islaman masyarakat Jawa. Dengan begitu, jelas sudah bahwa Islam Jawa yang digambarkan para javanolog sebagai Islam yang sinkretik dan jauh dari nilai-nilai Jawa esensial adalah keliru. Tasawuf merupakan salah satu “sempalan” ajaran dalam Islam yang mana esensinya adalah mendekatkan diri kepada-Nya.

Jika narasi yang dibangun adalah Islam di Jawa bukan ajaran murni, hal ini sangat kontradiktif. Ini mungkin tak lepas dari kekalahan pada Perang Sabil (Perang Jawa) yang sangat menampar wajah pemerintah kolonial. Alhasil, mereka dengan segala tenaga dan usahanya mencoba menegasikan Islam dari kultur kehidupan masyarakat Jawa. Politik kebudayaan diterapkan lewat lembaga javanologi mereka dan mencoba mendegradasi Islam. Mereka juga melabeli Islam di Jawa sebagai ajaran sinkretik dan jauh dari nilai Jawa esensial.

Sekali lagi, identitas agama masyarakat Jawa sudah sangat jelas. Islam merupakan entitas dari Jawa, begitu sebaliknya. Mengutip pernyataan Woodward dalam Islam in Java (1997), agama masyarakat Jawa adalah Islam, sebab aspek-aspek doktrin Islam telah mengganti Hinduisme dan Buddhisme sebagai aksioma budaya.

Diskursus Islam Jawa selalu menarik dibahas. Jawa mempunyai segudang warisan kebudayaan yang majemuk. Perlu kesabaran juga ketelitian tingkat tinggi dalam mengkajinya.

Mempelajari Jawa tak terbatas pada membaca buku yang ramai di ranah akademis, terlebih buku-buku karangan intelektual barat. Hal itu juga bisa dipelajari melalui pelestarian adat-istiadat Jawa. Gelora literasi dan semangat melestarikan kebudayaan menjadi tuntutan yang tak terelakkan. Namun, perlu sikap kritis terhadap setiap literatur dan moderat dalam beragama.

Esai ini ditulis oleh Dida Kurniawan Wibowo, mahasiswa Prodi Sejarah Fakultas Adab dan Bahasa UIN Raden Mas Said Surakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya