SOLOPOS.COM - ilustrasi

Penyakit genetik yakni talasemia membutuhkan sosialisasi yang gencar agar dipahami masyarakat.

Solopos.com, SOLO — Sedikitnya 150 orang di wilayah Soloraya terjangkit penyakit talasemia atau kelainan sel darah merah yang diturunkan. Pada tahun 2014, tiga orang yang terjangkit penyakit ini meninggal dunia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketua Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia Indonesia (Popti) Cabang Solo, Eni Joko Purwanto, mengatakan penyakit talasemia merupakan penyakit bawaan atau genetik dari orang tua.

Hingga kini, Popti mencatat penderita talasaemia sebanyak 150 orang yang tersebar di Solo, Sragen, Wonogiri, Karanganyar, Karanganyar, Klaten, dan Boyolali.

“Tahun lalu ada tiga orang Sragen yang menderita talasemia meninggal dunia karena tidak kunjung ditangani,” katanya di sela-sela acara syukuran peringatan Hari Talasemia Sedunia di Taman Balekambang Solo, Minggu (31/5/2015).

Dia memperkirakan di luar data tersebut masih banyak penderita yang belum didata, karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui penyakit tersebut. Menurutnya, untuk mendeteksi adanya indikasi penyakit ini, seseorang harus melakukan screeningdi rumah sakit.

“Ini penyakit bawaan atau genetik. Dari 150 orang yang terkena penyakit ini, 141 orang di antaranya diderita anak-anak, sedangkan sembilan lainnya dewasa. Ini kemungkinan orang tuanya baru menyadari,” jelas dia.

Eni menyampaikan hingga kini penyakit tersebut belum ada obatnya, sehingga penderita penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Untuk bertahan hidup, penderita penyakit ini diwajibkan melakukan transfusi darah setiap bulan sekali dan harus minum obat khusus secara teratur.

Menurutnya, upaya yang dilakukan ini hanya untuk mempertahankan hidup penderita talasemia. Karena, jika tidak diberikan transfusi darah, penderita akan pucat dan bisa menyebabkan kematian.

“Untuk jumlah darah yang dibutuhkan tergantung berat tubuh seseorang, jika orangnya gemuk, tentunya membutuhkan lebih banyak darah,” imbuh dia.

Eni, yang juga memiliki anak penderita talasemia ini menceritakan dalam waktu hampir 30 tahun, anaknya harus hidup dengan rutin melakukan transfusi darah dan minum obat khusus.

Dia juga menerangkan ada beberapa ciri-ciri penderita talasemia, yaitu pertumbuhan tulang terganggu yang mengakibatkan tidak bisa tumbuh tinggi, kelebihan zat besi yang mengakibatkan muka terlihat lesu, gigi tumbuh tidak merata, hidung pesek, dan limpa membesar.

Lebih lanjut, kata Eni, dalam satu bulan biasanya ia menghabiskan uang mencapai Rp15 juta untuk transfusi darah dan membeli obat. “Obatnya sangat mahal, satu tabletnya harganya Rp35.000 dan satu hari harus minum tiga kali,” kata dia.

Orang tua anak penderita talasemia, Nailal Marom, 38, mengatakan mengetahui anaknya terkena penyakit tersebut sejak berumur dua tahun. Setelah mengetahuinya, ia langsung rutin melakukan transfusi darah dan memberikan obat kepada anaknya.

Pada saat itu kondisi anaknya sangat lesu dan tidak seaktif anak seumurannya. Saat dibawa ke rumah sakit, dokter mendiagnosis anaknya terkena talasemia.

Dalam satu bulan, kata dia, ia harus menyediakan uang sekitar Rp3 juta untuk transfusi darah dan membeli obat untuk anaknya. Tetapi, setelah mengikuti BPJS, ia mengakui bebannya sedikit terkurangi.

“Saat ini masih banyak masyarakat yang belum tahu mengenai penyakit ini, sehingga pemerintah harus secara terus menerus menginformasikannya kepada masyarakat,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya