SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO—Sertifikat halal bertujuan menjamin kehalalan produk bagi masyarakat muslim dan meningkatkan nilai produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Sayangnya, meskipun telah mendapat sertifikasi halal tidak dapat menjaga kehalalan produknya sepanjang waktu karena berdasarkan hasil penelitian masih banyak proses produksi UMKM yang rentan terhadap titik kritis halal.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

Untuk itu, UMKM perlu mendapatkan edukasi tentang titik kritis halal ini agar produk yang dihasilkan sesuai dengan standar halal yang telah diatur dalam ketentuan syarat prinsip syariah dan perundangan yang berlaku.

Hal ini dibahas dalam Coaching & Clinic bertema Titik Kritis Kehalalan Produk UMKM pada hari keempat Festival Syiar Ekonomi Keuangan Syariah dan Pesantren (Syekaten) 2021. Tema ini selaras dengan rangkaian webinar 1 bertema Peluang Produk Halal – UMKM Solo Raya Go Global dan webinar 2 bertajuk Meningkatkan Peran Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Daerah.

Baca Juga: SGS 2021 akan Banjir Hadiah, Ada Mobil hingga Rumah!

Direktur Halal Research Center Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nanung Danar Dono, yang hadi sebagai pembicara mengatakan halal tidak hanya sekadar tulisan, tetapi janji dunia akhirat.

Halal menurut terminologi Islam untuk menunjukkan sesuatu itu diizinkan untuk dikonsumsi atau digunakan oleh konsumen khususnya muslim. Selain itu, dengan mengantungi label halal, produk bisa dipasarkan ke seluruh dunia.

“Jika pelaku usaha sudah mendapatkan sertifikat halal bisa dipakai untuk promosi di mana pun. Sertifikat ini menjamin sebuah produk telah diperiksa oleh lembaga yang berwenang dan dipastikan bukan merupakan atau tidak tercampur barang haram,” kata dia.

Nanung menjelaskan kriteria pengharaman harta dan makanan, yakni apakah produk tersebut tercemar bahan haram atau tidak atau menggunakan bahan haram atau tidak.

Baca Juga: Utamakan Pembayaran Nontunai, Solo Great Sale Bidik Transaksi Rp800 Miliar

Merujuk pada makanan yang diharamkan dalam Alquran, yakni bangkai, darah, daging babi, daging binatang yang disembelih dengan nama selain Allah, daging binatang yang tidak disebut nama Allah, dan minuman yang memabukkan serta turunannya. Sementara makanan yang diharamkan dalam Hadis adalah makanan yang menjijikkan (cacing, bekicot, tikus, belatung, kecoa, ulat, dll), dan daging binatang buas.

Namun demikian, ada pula barang yang halal, tetapi mendapatkannya dengan cara yang haram. Antara lain, makanan dari hasil mencuri, dibeli dari hasil mencuri, merampok, menipu, berjudi, korupsi, dan riba.
Ia mencontohkan pada penggunaan daging babi untuk berbagai produk olahan pangan.

Harga daging babi ini jauh lebih murah. Selain itu, banyak tersedia di pasaran dan tersebar di pasar tradisional. Maka dari itu, hati-hati membeli bakso dan aneka olahan daging.

“Cermati betul lokasi penggilingan daging sapi yang juga menerima atau tidak menolak menggiling daging babi. Selain itu, lemak babi bisa dipakai sebagai bahan pengemulsi makanan. Jangan pernah membelikan anak-anak permen yang kenyal kecuali ada sertifikat halal produknya,” papar dia.

Baca Juga: Wakaf Produktif Jadi Solusi Pengembangan Usaha UMKM

Peluang Universal

Di sisi lain, halal memang sudah menjadi salah satu syarat produk agar dapat menembus pasar global. Namun, tahapan audit dan sertifikasi halal pada beberapa produk pangan cukup rumit, butuh ketelitian dan kedetailan, serta pengetahuan mendalam terutama untuk produk-produk bioteknologi. Hal ini berdampak pada resiko tidak halal yang lebih besar.

Pelaku UMKM banyak yang belum memahami produk yang dimiliki dalam pemenuhan syarat prinsip syariah, yakni halal dan tayib (baik). Halal artinya makanan itu diperbolehkan untuk dimakan tidak dilarang oleh hukum syariah, sementara tayib artinya makanan itu bergizi dan bermanfaat untuk kesehatan.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Solo, Nugroho Joko Prastowo, mengatakan webinar ini sangat menarik karena berbagai alasan. Pertama, terkait kehalalan ini merupakan amalan syariah Islam dengan mengonsumsi barang yang halal dan tayib.

“Kehalalan ini secara kenegaraan sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Namun, masih banyak produk yang belum bersertifikat halal. Ini memang perlu proses untuk mengimplementasikannya,” kata dia.

Baca Juga: Sudah Rambah Eropa, Lentho Solo Siap Kuasai Pasar Camilan Indonesia

Kedua, halal menjadi peluang bagi pelaku usaha bukan hanya untuk orang muslim, tetapi universal. Menurutnya, sekarang banyak negara nonmuslim memproduksi barang halal dan mengambil pangsa pasar muslim yang masih sangat besar. Misalnya, kosmetik (Korea), fesyen, daging (Australia), dan lain-lain.

Ia menggarisbawahi peluang pasar yang sangat besar ini perlu digarap lebih serius supaya Indonesia bukan hanya dijadikan target market, tetapi juga produsen produk halal demi memenuhi produk global. Akan tetapi, label halal tersebut menjadi tantangan lantaran sertifikasi halal yang telah didapat tetap mesti dijaga kehalalannya. Kehalalan mulai dari bahan yang digunakan, prosesnya hingga hasilnya.

“Ini yang perlu diketahui oleh UMKM, di mana titik kritisnya supaya kalau sudah sertifikasi halal bisa dipertahankan,” imbuh dia.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Kampung Batik Kauman, Gunawan Setiawan, mengatakan permasalahan UMKM cukup banyak, seperti bagaimana mendapatkan produk halal kemudian apakah produk halal itu sendiri.
“Semoga webinar ini bermanfaat bagi kami pelaku UMKM khususnya di bidang kuliner dan konsumen sebagai penikmat kuliner,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya