SOLOPOS.COM - Oei Tiong Ham. (Okezone.com)

Solopos.com, SEMARANG — Salah satu pengusaha kelahiran Semarang, Jawa Tengah, disebut sebagai orang terkaya se-Asia Tenggara pada masa lampau. Orang itu adalah Oei Tiong Ham (OTH) yang merupakan keturunan Tionghoa.

Pria kelahiran Semarang, 19 November 1866 itu keturunan perngusaha totok bernama Oei Tjie Sien yang berasal dari daerah Tong An, Fujian. Sedangkan ibunya, Tjan Bien Nio adalah kaum peranakan yang lahir di Jawa. Meskipun mapan, mereka bukan dari kalangan Cabang Atas Peranakan yang merupakan kaum Tionghoa elite di Hindia Belanda.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pada awal abad ke-20, OTH menjadi orang terkaya di wilayah Asia Tenggara melalui usaha dagangnya yang bergerak di bidang industri gula. Bahkan di saat itu, dia dijuluki sebagai Sang Raja Gula dan diangkat sebagai abdi negara dengan gelar Luitenant der Chinezen di masa pemerintahan kolonial di Semarang dan memiliki pangkat Majoor hingga purna tugasnya.

Baca juga: Misteri Cupu Manik Astagina & Asal-Usul Telaga Warna

Mahir Berbagai Bahasa 

Sementara itu, dilansir dari sebuah literasi dengan judul Perkembangan Industri Gula Oei Tiong Ham Concern (OTCH), pada usia 8 tahun, OTH mendapat pendidikan di sekolah Cina yang berbahasa Hokian kuno. Setelah itu, dia memperoleh pelajaran Bahasa Melayu dan penulisan huruf latin. Di sekolah tersebut, dia belajar mengenai kesusastraan dan ilmu berhitung.

Meskipun tidak mendapatkan pengajaran mengenai budaya Eropa, namun OTH mahir dan mengerti Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Kemampuannya dalam Bahasa Belanda dan Inggris dia dapatkan  melalui interaksinya dengan orang-orang kulit putih secara langsung saat itu.

Kepiawaiannya dalam berbahasa asing tersebut ditulis dalam buku Liem Tjwan Ling yang tertulis bahwa OTH tidak pernah duduk di bangku sekolah Belanda maupun Inggris, dia hanya menerima pelajaran Tionghoa kuno yang hanya menitikberatkan pada kesusastraan dan ilmu berhitung namun dia mengerti baik bahasa Belanda dan Inggris.

Baca juga: Cerita Toko Roti Tertua Indonesia di Purwokerto, Eksis 124 Tahun

OTH dikenal sebagai orang yang memiliki bakat mumpuni dalam perdagangan. Sebagai keturunan Tionghoa, dia percaya pada hokkie atau keberuntungan dan mengikuti dengan cermat petunjuk Hong-shui, yaitu  keseimbangan antara angin dan air dalam menentukan lokasi dan bentuk bangunan tempat usaha dan rumah prbadinya hingga tempat pemakanannya.

Sikap ini merupakan hasil didikan dari ayahnya yang mendidik dia secara keras setelah ketahuan berjudi di masa remajanya. Orang terkaya di Asia Tenggara itu tercatat pernah menghabiskan uang sebesar 10.000 gulden atau sekarang setara Rp80 juta untuk berjudi.

Tindakan tersebut diketahui oleh sang ayah, sehingga dia pun dididik untuk hidup mandiri dengan diberi tanggung jawab besar dalam usaha keluarga. Dididikan ini adalah metode untuk menghentikan OTH dari kebiasaan berjudi.

Menjadi Pengusaha Sejak Usia 15 tahun

OTH memiliki falsafah berbisnis yang berbeda dengan ayahnya yang masih memegang budaya totok dengan berbahasa, berpakaian dan berambut khas Tionghoa di rumah. Pemikiran OTH justru lebih modern karena banyak dipengaruhi oleh budaya Eropa. Saat itu, kedekatannya dengan pemerintah kolonial menjadi upaya untuk perkembangan bisnisnya.

Baca juga: Berusia 124 Tahun, Ini Toko Roti Tertua Indonesia di Purwokerto

Dia menjalankan usaha gula sejak berusia 15 tahun. Kala itu dia sengaja mempekerjakan orang-orang Belanda demi menanam kepercayaan pemerintah kolonial. Usaha gula OTH menuntut untuk dekat dengan pemerintah kolonial karena pemasaran dan alat-alat produksi yang dibutuhkan berasal dari Belanda.

Dari segi finansial, bank-bank Belanda menjadi lebih mudah dalam memberikan pinjaman modal dan memberikan pelayanan yang semakin menguntungkan.  Pada 1890, OTH berhasil menjadi pemegang lisensi utama di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk monopoli candu lewat lelang.

Dari monopoli candu tersebut, dia berhasil mendapat keuntungan sebesar 18 juta gulden. Namun pada praktiknya, hasil keuntungan ini dia dapat melalui penyelundupan.

Baca juga: Curi Pohon Jati Untuk Perbaiki Rumah, 2 Warga Grobogan Ditangkap

Hijrah ke Singapura

Setelah masa jabatannya sebagai Majoor selesai, orang terkaya se-Asia Tenggara itu hijrah ke Singapura pada 1920. Dilansir dari eresources.nlb.gov.sg, hijrahnya OTH ke Singapura ini dikarenakan dia tidak setuju dengan sistem hukum pemerintaha Hindia Belanda. Kala itu Belanda memberikan hak kepada keturunan perempuan dari pengusaha untuk mendapatkan warisan. Sedangkan OTH menolak memberikan semua harta kekayaannya kepada 13 putri-putrinya yang lahir dari delapan istrinya.

Alasan berikutnya adalah OTH keberatan untuk membayar pajak sebesar 30% dari keuntungan yang dia dapat selama masa Perang Dunia pertama. Bahkan saat itu dia terancam kehilangan kewarganegaraan Hindia Belanda namun dengan santai, dia melepaskan begitu saja. Saat di Singapura, OTH berhasil melakukan ekspansi bisnisnya, seperti mendirikan kantor cabang Kian Gwan Kongsi yang sudah didirikan sebelum dia hijrah, yaitu pada 1914.

Dia juga menggelontorkan dana sebesar $150.000 untuk pembangunan balai utama di Raffles College. Atas bentuk penghormatan akan jasanya itu, balai yang dibangun dinamai atas nama dirinya, Oei Tiong Ham Hall yang sekarang bernama University of Singapore. Dia juga menyumbangkan sebagian hartanya untuk Chinese Highschool St Andrew’s Medical Mission dan Japanese Earthquake Relief Fund. Dia juga menyumbangkan sebidang tanah untuk pembangunan Toh Lam School di Armenian Street.

Baca juga: Misteri Umbul Senjoyo, Petilasan Jaka Tingkir di Salatiga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya