SOLOPOS.COM - Derita pengungsi Rohingya di Langsa, Aceh, Jumat (15/5/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Rony Muharrman)

Pengungsi Rohingya tak hanya menjadi masalah bagi Indonesia. Rohingya telah menjadi masalah dunia.

Solopos.com, NAYPYIDAW – Keberadaan pengungsi Rohingya di Indonesia memicu gerakan bantuan Rohingya. Tak hanya di jejaring sosial, gerakan peduli Rohingya juga digelorakan sejumlah elemen masyarakat.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Semakin banyaknya kaum Rohingya meninggalkan Myanmar salah satunya dipicu oleh kondisi politik di Myanmar. Pada 11 Februari 2015, pemerintah Myanmar menarik kartu putih yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya di Myanmar. Kartu putih dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret 2015. (Baca: Inilah Dibalik Pembantaian Rohingya)

Kartu putih merupakan kartu identitas yang diberikan bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar namun tidak mendapatkan status resmi sebagai penduduk, penduduk asosiasi, penduduk netral, atau warga negara asing. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara Myanmar atau warga negara asing.

Sebagaimana diberitakan The Myanmar Times yang dikutip oleh Okezone, Sabtu (23/5/2015),  kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer sebelumnya.

Pada waktu itu, pemerintah mengganti Kartu Identitas Perserikatan Myanmar (Union of Myanmar Identity Card) dengan Kartu Registrasi Nasional (National Registration Cards). Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang Kartu Identitas Perserikatan Myanmar.

Pemegang kartu putih dilarang bepergian tanpa izin pemerintah. Mereka juga tidak harus mendapat izin pemerintah bila ingin menikah. Selain itu, pemerintah turut andil dalam perencanaan keluarga.

Presiden Myanmar Thein Sein membatalkan kartu putih pada 11 Februari 2015. Keputusan Presiden Thein Sein diduga akibat desakan dari protes massa. Pada pagi 11 Februari 2015, massa bergerak menuju Yangon meminta pembatalan kartu putih. Pada sore harinya, Presiden Thein Sein mengumumkan pembatalan.

Di Sittwe, protes massa dimulai sejak 5 Februari 2015. “Setiap rumah di Sittwe mengibarkan bendera Buddhis. Penduduk Sittwe menulis surat yang menolak hak pilih pemegang kartu putih,” kata koordinator demonstran, Daw Nyo Aye.

Bersamaan dengan ditariknya kartu putih, orang-orang Rohingya kehilangan haknya untuk ikut dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Sesuai referendum yang diselenggarakan pada 2008, pemegang kartu putih mendapatkan hak pilih dalam pemilu. Pembatalan dari Presiden Thein Sein menutup kesempatan orang Rohingya berpartisipasi dalam Pemilu Myanmar 2015.

Ribuan Ditarik

Kantor Imigrasi Provinsi Rakhine telah menarik kartu putih milik kaum Rohingya sejak 1 April 2015. Direktur Departemen Imigrasi Rakhine, U Khin Soe mengatatakan, pemerintah akan menarik seluruh kartu hingga 31 Mei 2015.

Hingga akhir April, sudah ada 300.432 kartu putih yang ditarik dari total 660.000 pemegang kartu putih di Rakhine. Sebanyak 83 persen dari pemegang kartu putih di Rakhine adalah etnis Rohingya.

“Di beberapa permukiman, mereka masih takut untuk menyerahkan kartu-kartu mereka. Namun, nanti mereka akan menyadari kartu putih yang mereka miliki tidak ada gunanya. Saya yakin mereka akan menyerahkan kartu-kartu itu,” sambungnya.

Berdasarkan data Kementerian Imigrasi Myanmar, tercatat 797.504 pemegang kartu putih di seluruh penjuru negeri. Hanya Provinsi Kayah dan Bago saja yang tidak memiliki pemegang kartu putih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya