SOLOPOS.COM - Agung Pambudi/Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FOTO/Dok)

Agung Pambudi/Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FOTO/Dok)

Keputusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu (7/3) membatalkan SK Menkumham No M.HH-07.PK.01.05.04 bertanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi. Putusan PTUN itu menyatakan SK Menkumham tidak berlaku lagi. Aturan pemberian remisi kembali diberlakukan.
Alasan majelis hakim, SK tersebut ditetapkan berdasarkan PP No 32/1999 yang sudah tak berlaku lagi. Selain alasan tersebut, SK dinilai bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik serta tidak berdasar prosedur serta ketentuan yang berlaku di bidang pemasyarakatan.
Widodo Ekatjahjana dalam Jurnal Konstitusi Vol 7 No 5, Oktober 2010, Sengketa tata usaha negara (TUN) merupakan sengketa hukum publik. Putusan hakim PTUN pada dasarnya merupakan putusan yang memiliki sifat atau karakter hukum publik. Sifat atau karakter hukum publik pada putusan hakim PTUN inilah yang menyebabkan putusan hakim PTUN itu tidak hanya berlaku dan mengikat pihak-pihak yang berperkara saja. Putusan hakim PTUN harus bersifat erga omnes, putusan hakim PTUN mengikat semua pihak, termasuk pihak-pihak yang tidak berperkara sekalipun.
Dengan demikian pencabutan SK Menkumham No M.HH-07.PK.01.05.04 berlaku juga bagi semua pihak (koruptor yang tak ikut menggugat SK Menkumham tersebut). Hal ini jelas merupakan tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya kasus korupsi. Jika dirunut ke belakang, pemberian remisi sebenarnya hak narapidana. Ini diatur dalam UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Salah satu hak narapidana (napi) adalah mendapatkan remisi. Diatur lebih lanjut bahwa seorang napi jika berkelakuan baik selama dipenjara dan sudah menjalani hukuman selama enam bulan bisa mendapatkan remisi.
Namun, untuk kasus korupsi ada  perlakuan khusus. Napi korupsi tunduk pada PP No 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Remisi baru diberikan jika napi telah menjalani hukuman selama 1/3 masa tahanan. Dalam bingkai hukum, SK Menkumham No M.HH-07.PK.01.05.04  adalah bentuk terobosan hukum di Indonesia. Bentuk keluarbiasaan SK ini adalah berlaku surut. Banyak terpidana kasus korupsi “batal bebas” melalui pembebasan bersyarat.
Sebut saja Ahmad Hafiz Zawai, Bobby Suhardiman, Hengky Baramuli, Hesti Andi Tjahyanto, Agus Wijanto Legowo, Mulyono Subroto dan Ibrahim. Ketujuh orang tersebut “batal bebas” karena terbitnya SK Menkumham tentang pembatalan pembebasan bersyarat. Yang menarik, di tangan tujuh orang itu pulalah SK Menkumham tentang pembatalan pembebasan bersyarat dikebiri melalui PTUN Jakarta. Per 7 Maret 2012,  SK Menkumham tersebut dicabut. Pembebasan bersyarat kembali diberlakukan
Sejak awal terbitnya SK Menkumham telah menuai pro dan kontra. Legal standing SK ini banyak dipertanyakan. Bisa dikatakan SK ini kontroversial. SK kontroversial ini dikeluarkan Menkumham Amir Syamsudin, politisi Partai Demokrat. SK kontroversial ini mendapat reaksi positif dari masyarakat. Bisa dikatakan SK ini adalah kebijakan populer.
Akan tetapi, tanpa disadari SK Menkumham No M.HH-07.PK.01.05.04 secara otomatis merampas hak-hak warga negara yang lain. Hak seorang napi untuk mendapatkan remisi telah dijamin undang-undang. Akan tetapi, oleh SK Menkumham tersebut hak napi untuk mendapatkan remisi dihilangkan. Secara otomatis, muncul ketidakteraturan dalam hukum.
Secara hierarki peraturan, SK Menkumham berada di bawah undang-undang. Jadi, segala pokok materi yang tercantum di SK Menkumham seharusnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. SK Menkumham yang ditetapkan dan dijalankan adalah bentuk pemaksaan kehendak dari penguasa tanpa dasar hukum yang jelas. Kita harus sepakat bahwa suatu peraturan-apa pun bentuknya-tidak bisa dibuat tanpa dasar hukum yang kuat.
”Kepopuleran” kasus korupsi memang seharusnya harus diikuti dengan aturan hukum yang populer juga. Namun, bukan berarti harus melanggar prosedur. Dunia hukum memang dunia yang penuh dengan prosedur. Prosedur dibuat untuk menjamin tidak ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Kalau sampai ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum, tujuan hukum mengenai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum tidak dapat tercapai. Prosedur yang jelas bertujuan dapat mewujudkan ketertiban hukum.
Munculnya SK Menkumham justru secara otomatis mereduksi ketertiban dalam hukum karena SK itu berproses tidak secara tertib! Menurut Sutjipto Rahardjo, hukum dan ketidaktertiban itu tidak saling meniadakan begitu saja, melainkan kita harus mengakui bahwa masyarakat itu menerima margin of tolerance atau leeways dalam penegakan hukum. Artinya, penegakan hukum “berkompromi” dengan keadaan tidak tertib di masyarakat. Itu berarti dalam keadaan tidak tertib hukum juga dapat bekerja, seperti juga dalam “keadaan tidak tertib” hukum itu juga tetap bekerja.
Ketidaktertiban SK Menkumham dalam dimensi hukum di Indonesia nyatanya mampu bekerja, meskipun hanya dalam hitungan bulan (16 November 2011-7 Maret 2012). Dengan demikian sudah terbukti bahwa hukum yang tidak tertib pasti dapat dengan mudah dipatahkan. Tujuan untuk mewujudkan suatu ketertiban oleh hukum tidak bisa dilakukan di atas ketidaktertiban dari hukum itu sendiri. Prosedur dalam berhukum menjadi sangat penting di sisi ini!
Langkah pengetatan remisi oleh Menkumham harus diapresiasi tinggi. Bagaimana pun kebijakan Menkumham mengenai penghentian remisi adalah keputusan yang berani. Niat untuk “memberi pelajaran” kepada para koruptor adalah langkah yang sensasional. Bakal lebih elegan lagi jika diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berproses berdasar peraturan yang berlaku.
Kita tentu sangat sepakat jika korupsi harus hancur di negara ini dan para koruptor dibasmi dari bumi Indonesia. Akan tetapi, kita tidak bisa melupakan aturan dan prosedur. Jangan sampai kita menegakkan hukum dengan melanggar hukum itu sendiri. Gagasan untuk mengetatkan remisi bagi para koruptor harus segera ditindaklanjuti oleh pihak terkait. DPR, pemerintah, masyarakat harus mendorong konsep pengetatan remisi ini menjadi peraturan yang berdasar hukum kuat. Jangan sampai gagasan pengetatan remisi bagi para koruptor hanya sampai di ketuk palu hakim PTUN saja!

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya