SOLOPOS.COM - Sutrisno (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Awal tahun pelajaran baru 2022/2023 semestinya menjadi yang menyenangkan bagi setiap pelajar, apalagi bagi siswa baru. Menurut Kalender Pendidikan Nasional, pelaksanaan pembelajaran dimulai pada 13 Juli 2022.

Siswa baru tentu membutuhkan pengenalan lingkungan sekolah (PLS) awal supaya mereka bisa beradaptasi dan mengenal lingkungan sekolah (akademis). Masa-masa inilah yang populer dengan sebutan masa orientasi siswa (MOS) atau biasa disebut dengan ospek di perguruan tinggi. Sekarang, namanya menjadi masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun, seringkali PLS menjadi momok yang menakutkan bagi siswa baru dan orang tua mereka. Sebab, dalam ajang tersebut biasanya mereka diminta untuk membawa barang-barang aneh dan sulit. Barang-barang aneh tersebut kemudian wajib dikenakan sebagai aksesoris tampilan. Mereka juga disuruh melaksanakan tugas tertentu yang bahkan tak ada hubungannya dengan urusan akademis.

Bahkan, beberapa kali sempat terjadi kekerasan hingga berujung maut di ajang tahunan tersebut. Bukti perpeloncoan membawa korban jiwa sudah dialami beberapa sekolah.

Ekspedisi Mudik 2024

Pandemi Covid-19 bukanlah penghalang untuk mewujudkan tujuan PLS. Karena bagaimana pun pendidikan tidak hanya bagaimana menghadirkan siswa ke sekolah. Lebih dari itu, pendidikan adalah soal sejauh mana sekolah mampu menghadirkan pengalaman dan pengetahuan dalam rangka memperluas cakrawala interaksi siswa-sekolah, wawasan siswa, dan menumbuhkan budaya akademis.

PLS diselenggarakan sebagai pengganti MOS. Adapun dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbud) No. 18/2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) Bagi Siswa Baru yang menggantikan Permendikbud No. 55/2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru. Dalam pelaksanaannya, PLS sekolah perlu menggelar kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. PLS adalah kegiatan pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana, dan prasarana sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur sekolah.

Berpedoman pada Pasal 2 ayat (2) Permendikbud No. 18/2016, pelaksanaan kegiatan PLS bagi siswa baru adalah terdiri atas beberapa hal. Di antaranya mengenali potensi diri siswa baru; membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya (antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah); dan menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru.

Selain itu, mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya; serta menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisiplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.

Kebijakan tersebut membawa angin segar pelaksanaan PLS. Sebab, tidak ada celah bagi para kakak kelas atau senior melakukan aksi balas dendam, perpeloncoan, dan perundungan dalam PLS. Selain itu, permendikbud tersebut memberikan kesempatan bagi sekolah untuk merancang program PLS melalui kegiatan pilihan yang disesuaikan dengan visi-misi sekolah, kebutuhan, kebiasaan, manajemen, dan prosedur masing-masing sekolah. Bila dilanggar, sekolah bisa dikenai sanksi berupa penurunan level akreditasi dan dihentikannya bantuan. Bentuk sanksi lainnya adalah sekolah tersebut bisa digabung, direlokasi, atau bahkan ditutup.

Siswa baru memang perlu menjalani orientasi agar mengenal cara belajar dan kultur akademis di sekolah. Mereka perlu mengetahui cara berinteraksi dengan kakak kelas, guru, karyawan, mencari literatur di perpustakaan, atau mengenal organisasi yang ada di sekolah. Hanya, pengenalan itu mestinya dilakukan dengan cara cerdas dan lewat arahan jelas dari sekolah.

Siswa baru, misalnya, bisa diminta ke lapangan mengenal lingkungan dan komunitas sekolah, infrastruktur sekolah, berdiskusi, berdialog, dan mencari strategi belajar. Sungguh berbahaya jika kegiatan PLS diserahkan sepenuhnya kepada siswa senior. Terkadang siswa senior memandang rendah siswa baru, merasa sok kuasa, gila hormat, dan memiliki misi balas dendam. Jika ini masih jadi budaya di kalangan siswa, PLS berpotensi diwarnai kekerasan fisik dan berujung maut.

Humanis

Saatnya menerapkan PLS dengan edukatif dan humanis. Driyarkara (1980) menguraikan pendidikan merupakan homonisasi dan humanisasi. Dengan kata lain, pendidikan berarti menjadi proses menjadi manusia yang manusiawi. Drost (1998:2) menegaskan visi yang sama dengan Driyarkara, yaitu memanusiakan manusia sebagai inti pendidikan. Proses memanusiakan manusia terjadi demi kemandirian si individu bersangkutan, tetapi juga “demi masyarakat karena manusia itu adalah manusia demi manusia-manusia lain”.

Oleh karena itu, pihak sekolah (kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan) harus punya kecerdasan dan program dalam kegiatan PLS supaya peserta didik baru dapat mencapai kesuksesan dalam belajar. Pertama, PLS harus didesain sebaik mungkin guna melahirkan siswa yang berkualitas. Seluruh kegiatan PLS harus diorientasikan untuk memperkenalkan siswa baru akan hakikat, fungsi, dan tanggungjawabnya pelajar yang seluruh sikap dan perbuatannya berpijak pada moral-etika dan hukum yang benar. Selain itu, sekolah perlu mendesain agenda program yang lebih menguatkan eksistensi diri sebagai seorang pelajar.

PLS jangan menjadi ajang balas dendam, penggencetan, perpeloncoan, dan transfer budaya kekerasan. PLS harus humanis, konstruktif, berkarakter, dan bervisi pendidikan. PLS semestinya mampu mengawali penyemaian pendidikan karakter seperti menjunjung tinggi kejujuran, moralitas, etika, tata krama, sopan santun, kerja sama, gotong-royong, dan tanggung jawab.

Nilai-nilai tersebutlah yang ke depannya menjadi modal pembentukan generasi penerus bangsa yang beriman dan berilmu. Kondisi yang lebih ideal adalah saat siswa baru mengambil peran penting dalam memberikan solusi alternatif terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa.

Kedua, kegiatan PLS harus benar-benar diawasi secara ketat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dengan demikian, seluruh kegiatan bisa terarah dengan baik serta bebas dari kekerasan fisik, mental, dan seksual. Pasal 5 ayat (1) huruf a permendikbud tersebut menyatakan bahwa hanya guru yang berhak merencanakan dan menyelenggarakan PLS. Di sinilah peran penting guru dalam memformulasikan kegiatan PLS, terutama memberikan motivasi, pijakan, dan strategi belajar kepada siswa baru agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Semoga kegiatan PLS ini menjadi wahana membentuk generasi emas Indonesia.

Esai ini ditulis oleh Sutrisno, Guru SMP Negeri 1 Wonogiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya