Penganiayaan Boyolali yang menimpa pemuda asal Simo berakhir tragis.
Solopos.com, BOYOLALI – Keluarga Toyani, 62, warga Jetis, Desa Blagung, Simo, Boyolali, belum mampu melupakan kesedihan setelah kehilangan putra keempatnya, Edi Susanto, 18. Edi meninggal di RSI Surakarta, Minggu (4/10/2015).
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Edi meninggal setelah dianiaya oleh saudaranya sendiri, Taufik Ismail, 23; Mundzakir, 25, dan empat orang lainnya. Taufik diketahui sebagai anggota Polres Wonogiri berpangkat Bripda.
Toyani menceritakan Taufik Ismail dan Edi Susanto sebenarnya adalah saudara sepupu. Rumah orang tua mereka juga sangat berdekatan hanya selang satu nomor rumah, yaitu 1.032 dan 1.033.
Menurut Toyani, sebelum kejadian penganiayaan, hubungan keluarganya dengan keluarga Taufik baik-baik saja tanpa masalah.
Namun, belakangan hubungan keluarga tersebut sedikit renggang setelah anak-anak mereka terlibat penganiayaan. Bahkan Toyani menilai ada iktikad kurang baik dari keluarga Edi dengan menghentikan biaya perawatan sejak tiga hari sebelum Edi meninggal dunia.
“Anak saya meninggal dunia karena sudah tiga hari hanya diinfus dan minum obat seadanya. Mereka [ayah Taufik, Darmadi] tidak mau lagi membayar biaya pengobatan, administrasi telat akhirnya pihak rumah sakit memberi obat seadanya,” kata Toyani, saat ditemui, Senin (5/10/2015).
Sebelum meninggal dunia, kata dia, Edi sempat menceritakan kejadian nahas itu. “Anak saya bilang kalau saat dipukuli tiba-tiba dia kepalanya disiram pakai bensin. Dalam kondisi panik tahu-tahu api sudah menyulut badannya. Tidak tahu siapa yang membakar,” beber Toyani.
Saking paniknya, Edi berusaha memadamkan api yang membakar tubuhnya dengan lari ke arah sungai sekitar lokasi kejadian sambil melepas baju dan celana. “Namun ternyata sungainya kering. Akhirnya tubuhnya terbakar hingga 80%,” terang Toyani.
Meski mengalami luka cukup parah, Toyani tetap berharap anaknya bisa sembuh. Dia bahkan sempat membelikan Edi sandal untuk bisa dipakai jika Edi sudah sembuh.
“Sandalnya sudah saya belikan, saya cobakan hanya dengan ditempelkan di telapak kakinya. Edi senang sekali dibelikan sandal,” kenang Toyani.
Edi yang kemudian mengalami kritis pernah mengutarakan kekhawatirannya, siapa yang akan membantu ayahnya mencari nafkah jika dia meninggal dunia.
“Edi memang hanya lulusan SMP. Tetapi dia menjadi salah satu tulang punggung keluarga. Adiknya masih ada tiga. Dia khawatir kalau dia meninggal siapa yang akan ngopeni adik-adiknya,” kata kakak Edi, Agus Budiyanto, 28.
Edi juga sempat berpesan untuk dibelikan seekor kambing untuk selamatan jika nantinya dia meninggal dunia. Namun, pihak keluarga yang tidak mengharapkan demikian, akhirnya mengadakan bancakan weton di kampungnya, tiga hari sebelum Edi meninggal.
Ayah Taufik, Darmadi, 50, berkata dirinya sudah berusaha bertanggung jawab dengan membiayai semua biaya perawatan Edi. Biaya perawatan yang sudah dikeluarkan mencapai hampir Rp100 juta.
“Memang ada sedikit kekurangan tapi kami sudah berikan jaminan sehingga tadi malam jenazah Edi bisa dibawa pulang,” kata Darmadi.