SOLOPOS.COM - Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki perjanjian dengan wali santri untuk tidak lapor polisi saat ada masalah, Selasa (6/8/2022). (Ronaa Nisa’us Sholikhah/Solopos.com)

Solopos.com, SURABAYA — Kasus penganiayaan di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo yang menyebabkan satu santri meninggal dunia menyedot perhatian masyarakat. Terlebih, ada surat pernyataan yang harus ditandatangani orang tua santri saat hendak masuk ke pondok tersebut.

Surat tersebut belakangan menjadi kontroversi di masyarakat. Sebab, dalam surat pernyataan itu tertulis bahwa apabila terjadi sesuatu di Pondok Gontor, orang tua santri tidak diperbolehkan untuk melibatkan pihak luar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mengenai surat pernyataan yang kontroversi tersebut, Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Brahma Astagiri, mengatakan meski surat perjanjian atau surat pernyataan itu bermaterai dan ditangdatangani, namun apabila terjadi sesuatu maka tetap harus melapor kepada polisi. Kemudian, polisi akan melakukan penyelidikan mengenai kejadian tersebut untuk melihat ada dan tidaknya unsur tindak pidananya. Ketika ada unsur pidananya, polisi bisa meningkatkan ke penyidikan.

“Menurut Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, perjanjian tidak boleh memuat hal yang bertentangan dengan undang-undang dan juga hak-hak konstitusi masyarakat. Artinya, perjanjian tidak boleh membatasi hak orang tua korban untuk melaporkan kematian anaknya kepada aparat yang berwenang,” kata Brahma yang dikutip dari situs resmi unair.ac.id, Senin (19/9/2022).

Baca Juga: Ambulans Bawa Jenazah Tabrak Bus Sugeng Rahayu di Depan Terminal Madiun

Dia menuturkan untuk kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa seperti kasus di Pondok Gontor sulit untuk dilakukan restorative justice. Brahma menjelaskan restorative justice sendiri merupakan salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana dengan mempertemukan korban dan pelaku untuk menyelesaikan permasalahan bersama.

“Di sini kan korban sudah meninggal. Orang tua korban hanya bertindak sebagai pihak ketiga,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia menuturkan restorative justice memiliki beberapa syarat materiil yang harus terpenuhi, seperti kasusnya tidak menimbulkan dan penolakan dari masyarakat. Padahal kasus penganiayaan yang terjadi di Pondok Gontor jelas menyebabkan keributan di masyarakat.

Bukan hanya itu, restorative justice juga tidak boleh menimbulkan konflik sosial, adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum, serta memiliki prinsip pembatas.

Baca Juga: Fakta Baru Terungkap dalam Rekonstruksi Penganiayaan Maut Pondok Gontor

“Salah satu pelakunya ada yang sudah berusia 18 tahun. Kalau kedua pelaku sama-sama di bawah umur, masih ada chance untuk dilakukan restorative justice. Tetapi, kita harus melihat juga apakah kesalahan pelaku termasuk kesalahan fatal atau tidak. Kalau kesalahannya ringan masih dimungkinkan restorative justice,” jelasnya.

Meski demikian, Brahma menjelaskan bahwa esensi dari restorative justice hasil akhirnya harus memperbaiki kondisi korban dan pelaku. Untuk kasus-kasu ringan seperti pencurian dan perkelahian, kata dia, memang bisa diselesaikan secara internal. Namun, untuk kasus penganiayaan, apalagi sampai korbannya meninggal dunia sebaiknya melibatkan pihak kepolisian agar bisa diinvestigasi lebih lanjut.

“Kalau sampai kasusnya ditutup-tutupi [oleh Pondok Gontor], itu bisa termasuk menghambat penyidikan dan penyelidikan,” tegasnya.

Baca Juga: Keluarga Santri AM Minta Pelaku Penganiayaan di Pondok Gontor Dihukum Setimpal

Brahma berpesan agar kasus penganiayaan di Pondok Gontor ini dijadikan pelajaran bagi pondok pesantren lain agar memahami hukum dengan baik. Sehingga kasus seperti ini tidak terulang kembali.

Seperti diberitakan sebelumnya, santri Pondok Gontor berinisial AM asal Palembang, Sumatra Selatan, meninggal dunia karena dianiaya seniornya. Kasus ini mencuat saat ibu korban, Soimah, mengadu ke pengacara kondang Hotman Paris.

Kasus penganiayaan yang awalnya masih gelap ini, kemudian terang setelah pihak kepolisian melakukan penyidikan. Ada dua santri yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan ini. Dua santri itu berusia 18 tahun dan 17 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya