SOLOPOS.COM - Anggota laskar Hisbullah berjaga-jaga di depan pintu gerbang RSIS Surakarta Jl. Ahmad Yani Surakarta. (Arif Fajar S/JIBI/Solopos)

Penganiayaan di Boyolali yang berakhir tewasnya remaja Simo, Edi Susanto, 18, membuat RSIS disorot.

Solopos.com, SUKOHARJO — Rumah Sakit Islam Surakarta (RSIS) atau RS Yarsis Solo belum mengantongi izin operasional pelayanan kesehatan dari instansi terkait. Di tengah masalah izin yang belum tuntas, korban penganiayaan asal Simo, Edi Susanto, 18, meregang nyawa setelah puasa obat karena menunggak biaya RS senilai Rp36 juta.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Selain itu, perjanjian kerjasama atau MoU dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah diputus sejak Januari. Anggota Komisi IV DPRD Sukoharjo, Agus Sumantri, mengatakan semestinya manajemen RSIS mengedepankan unsur kemanusian apabila ada pasien yang menunggak biaya pengobatan. Pihak rumah sakit harus memberikan obat kepada pasien.

Politikus asal Partai Golkar ini menjelaskan Edi Susanto bisa dirujuk ke rumah sakit yang bisa melayani pasien pemegang kartu BPJS. “RSIS memang tidak bisa melayani pasien pemegang kartu BPJS. Karena itu, semestinya korban dirujuk ke rumah sakit lainnya,” kata dia.

Sebelumnya, setelah hampir tiga pekan dirawat di RS Yarsis Solo atau RSIS, Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, Edi meninggal dunia, Minggu (4/10/2015) sekitar pukul 16.00 WIB. Korban meninggal dunia setelah tidak minum obat selama tiga hari. Kepergiannya juga menyisakan tunggakan Rp32 juta.

Edi menderita luka bakar pada 80 persen tubuhnya. Dia menjalani rawat inap di bangsal Al-Qomar 1-2 RSIS Yarsis selama sekitar tiga pekan. Jumlah total biaya perawatan rumah sakit senilai Rp98.373.469. Sementara pihak keluarga tersangka hanya mampu membayar senilai Rp62 juta.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sukoharjo, Guntur Subyantoro, saat dihubungi Solopos.com, Kamis (8/10/2015). Menurut dia, DKK tak bisa berbuat banyak terkait kasus Edi Susanto yang menjadi korban penganiayaan itu.

“Kami tak bisa memberi perhatian khusus atau santunan dana karena RSIS belum mengantongi izin operasional,” kata dia, Kamis.

Semestinya, korban dirujuk ke rumah sakit negeri sehingga bisa ditangani oleh instansi terkait. Korban bisa dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi, Solo atau rumah sakit negeri terdekat dari lokasi kejadian. Dia akan merespons apabila ada laporan warga tidak mampu yang membutuhkan bantuan medis.

Dia membeberkan RSIS juga tak bisa melayani pasien pemegang kartu BPJS. BPJS telah memutus perjanjian kerjasama atau MoU sejak Januari lantaran RSIS belum mengantongi izin operasional. “Pelayanan BPJS juga tidak bisa karena sudah diputus sejak Januari. Kalau pasien ingin menggunakan program BPJS harus di rumah sakit lain,” ujar dia.

Menurut Guntur, RSIS merupakan salah satu rumah sakit umum kelas B di wilayah Jateng. Izin operasional rumah sakit diterbitkan langsung Dinas Kesehatan Provinsi Jateng. Hingga kini, Dinas Kesehatan Provinsi Jateng belum menerbitkan izin operasional untuk RSIS. Apalagi ada polemik kasus dualisme kepemilikan RSIS yang belum rampung.

Kini, ia masih menunggu proses hukum kasus dualisme kepemilikan RSIS itu. “Kami sudah melaporkan permasalahan RSIS kepada Gubernur Jateng. Pak Gubernur [Ganjar Pranowo] meminta pelayanan pasien tetap berjalan sambil menunggu proses hukum kasus dualisme kepemilikan RSIS rampung,” papar dia.

Guntur mengaku juga dihubungi oleh Sekretaris Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Tengah, Prijo Wasono. Dia menegaskan tak dapat berbuat banyak lantaran RSIS belum mengantongi izin operasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya