SOLOPOS.COM - Presiden Jokowi saat konferensi pers perihal Pengalihan Subsidi BBM di Istana Merdeka, Sabtu (3/9/2022). (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Solopos.com, JAKARTA – Pemerintah dinilai tidak kreatif lantaran menaikkan harga BBM subsidi jenis pertalite dan solar serta BBM non subsidi pertamax dalam waktu bersamaan, Sabtu (3/9/2022).

Menaikkan harga pertamax menjadi Rp14.500 akan memicu migrasi besar-besaran ke penggunaan pertalite.

Promosi Siap Layani Arus Balik, Posko Mudik BRImo Hadir di Rute Strategis Ini

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai seharusnya pemerintah membatasi pengguna solar oleh industri berskala besar daripada menaikkan harga yang dampaknya langsung dirasakan rakyat kecil.

“Alih-alih melakukan pembatasan dengan menyasar pengguna solar yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar, pemerintah justru mengambil langkah menaikkan harga BBM subsidi. Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif,” katanya, Sabtu (3/9/2022).

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: Kritik Pemerintah, Demokrat: Menaikkan Harga BBM Bukan Solusi!

Menurutnya, tujuan utama pemerintah untuk membatasi konsumsi juga tak akan tercapai lantaran pemerintah turut mengerek harga pertamax menjadi Rp14.500 per liter, dari harga sebelumnya Rp12.500 per liter.

Akibatnya, konsumen pertamax akan tetap bergeser ke pertalite yang harganya lebih murah.

Di samping itu, naiknya harga BBM saat ini dinilai tak tepat, terutama untuk BBM jenis pertalite.

Baca Juga: Bayang-Bayang Suram Dampak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Pasalnya, dia melihat masyarakat belum cukup siap menghadapi kenaikan harga pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter.

Dia mengatakan Indonesia dapat terancam stagflasi yakni naiknya inflasi yang signifikan dan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.

Pasalnya, kenaikan harga BBM memberikan dampak ke hampir semua sektor. Misalnya, harga pengiriman bahan pangan akan naik dan di saat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk.

Baca Juga: Ini Daftar Kendaraan yang Bakal Dilarang Beli Pertalite

Sebagaimana diketahui, inflasi bahan pangan pada Agustus masih tercatat tinggi yakni 8,55 persen (year-on-year/yoy) meskipun sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya yang tercatat mencapai 11, 47 persen.

Bhima menuturkan inflasi pangan diperkirakan berada di atas 10 persen secara tahunan pada September 2022.

Sebaliknya, inflasi umum diperkirakan menembus level 7 hingga 7,5 persen hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.

Baca Juga: BBM Subsidi Naik Harga, Ini Daftar Pihak yang Boleh Beli Solar

“Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali, belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman,” ujarnya.

Selain itu, kenaikan harga BBM juga akan mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi barang lainnya.

Pasalnya, ketika BBM yang merupakan kebutuhan mendasar mengalami kenaikan, pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak.

Baca Juga: Dampak Kenaikan Harga BBM, Setengah Juta Buruh Terancam Dirumahkan

“Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko ambil jalan pintas dengan lakukan PHK massal. Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali di bawah 50,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Harga Pertalite dan Solar Naik, Ekonom: Mekanisme yang Tidak Kreatif!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya