SOLOPOS.COM - Bambang Sadono. (dpd.go.id)

Pendidikan yang diterapkan SMAN 1 Semarang dengan men-drop out dua siswa yang dianggap bersalah mendapat kecaman anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng, Bambang Sadono.

Semarangpos.com, SEMARANG — Pola pendidikan di SMAN 1 Semarang yang memilih men-drop out atau mengeluarkan paksa dua siswa aktivis Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) setelah menuduh mereka melakukan penganiayaan saat Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) dikecam anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Jawa Tengah Bambang Sadono.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Mantan wartawan yang peduli dengan dunia pendidikan dan kini menjadi anggota lembaga tinggi negara itu menilai keputusan SMAN 1 Semarang mengeluarkan dua siswanya karena dugaan kekerasan terhadap junior mereka justru tidak mendidik. “Kepala sekolah dan pengurus sekolah harus bertanggung jawab. Tidak hanya diam saja, ketika anaknya salah malah anaknya yang dipersoalkan. Apalagi, mengancam masa depan mereka dengan mengeluarkan dari sekolah,” katanya di Kota Semarang, Jateng, Rabu (28/2/2018).

[Baca juga SMAN 1 DO 2 Siswa, Ini Alasan Bu Kepsek…]

Sebagaimana ramai diberitakan, SMAN 1 Semarang mengeluarkan paksa dua siswa kelas XII. Dua siswa yang semula hanya dipublikasikan dengan inisial AN dan AF karena dianggap sebagai anak-anak pelaku kejahatan itu belakangan dipublikasikan secara terbuka dengan nama Anindya Puspita Helga Nur Fadhil dan Muhammad Afif Ashor. Kedua korban drop out paksa SMAN 1 Semarang itu adalah siswa aktivis yang dilibatkan dalam LDK, kegiatan resmi OSIS sekolah itu, November 2017 silam.

Kedua siswa yang sebelumnya belum pernah tercatat melakukan pelanggaran tata tertib sekolah itu mendadak memiliki poin pelanggaran yang dianggap SMAN 1 Semarang layak dikembalikan kepada orang tua mereka. Dengan alasan poin pelanggaran yang melebihi batas itu, orang tua mereka pun dipanggil ke sekolah untuk diberi dua pilihan, yakni mundur dari SMAN 1 Semarang tanpa diadukan kepada polisi atau dikeluarkan dari sekolah itu dengan konsekuensi diadukan sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan.

Bukan hanya berupaya mengeluarkan paksa dua siswa tersebut, pimpinan SMAN 1 Semarang juga menjatuhkan sanksi skorsing kepada tujuh siswa lain yang juga pengurus OSIS karena terlibat menangani kegiatan LDK OSIS SMAN 1 Semarang, November 2017 silam itu. Merasa diperlakukan tidak adil, orang tua siswa aktivis OSIS yang mendadak jadi pesakitan itu melawan.

Perkara itu balik diadukan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jateng. Persoalan itu bahkan diadukan pula kepada Bambang Sadono, mantan wartawan yang peduli dengan dunia pendidikan dan kini anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

[Baca juga Aib Diungkap Siswa Korban DO SMAN 1 Semarang]

Bambang Sadono yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu pun menegaskan kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi lembaga sekolah harus bertanggung jawab atas terjadinya dugaan kekerasan terhadap junior saat kegiatan LDK. Namun, kata Bambang, tanggung jawab tersebut tidak kemudian hanya dibebankan pada siswa dengan mengeluarkan dari sekolah, apalagi kedua siswa tersebut sudah duduk di kelas XII yang sedang menyiapkan diri menghadapi ujian nasional (UN).

“Menurut saya, enggak mendidik. Menyelesaikan persoalan pendidikan tidak dengan cara mendidik. Di sekolah, kan ada kepalanya yang paling tinggi. Kepala sekolah harus dimintai tanggung jawab oleh Dinas Pendidikan,” tegasnya.

Ia mengingatkan persoalan yang terkait dua siswa tersebut harus dicarikan solusi sebaik-baiknya agar jangan sampai menjadikan mereka malah menjadi korban, mengingat anak-anak tersebut masih memiliki masa depan. Solusi yang dimaksudkannya, kata dia, harus dengan mempertimbangkan masa depan siswa yang bersangkutan, termasuk fasilitasi pindah ke sekolah sebagaimana ditawarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng.

Disdikbud Jateng memfasilitasi dua siswa tersebut untuk tetap bersekolah dengan pindah ke SMA negeri yang terdekat dengan tempat tinggalnya, yakni SMAN 11 untuk Anindya dan SMAN 13 Semarang untuk Afif Ashor agar tetap bisa ikut UN. Namun, kedua siswa korban drop out paksa SMAN 1 Semarang itu, beserta kedua orang tua siswa mereka tetap menginginkan bersekolah di SMAN 1 Semarang karena merasa tidak bersalah dan menilai keputusan sekolah yang justru tidak adil.

“Kalau ditampung kembali [di SMAN 1 Semarang], saya malah berpikir apakah anaknya tidak tertekan nanti? Namun, kalau mereka ternyata bisa, ya, lebih baik,” kata Ketua Badan Pengkajian (BP) MPR tersebut.

Fasilitasi pindah sekolah diakui Bambang Sadono bisa dijadikan solusi, namun tak boleh sampai ada kesan mereka dibuang. Artinya, terang dia, sekolah yang menjadi tujuan kepindahan mereka harus memiliki kualitas sama dengan sekolah asalnya. “Dicarikan sekolah lain, ya, bisa. Tetapi, jangan ada kesan mereka dibuang. Yang paling baik, anaknya sendiri diberikan alternatif mau pindah ke sekolah mana. Itu semua kan di bawah kewenangan Disdikbud Jateng,” kata Bambang Sadono.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya