SOLOPOS.COM - Ketua Umum PB Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin), Prof. Mungin Eddy Wibowo. (www.abkin.org)

Pendidikan di Kota Semarang yang dibikin gaduh oleh dikeluarkannya dua siswa SMAN 1 disoroti Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin).

Semarangpos.com, SEMARANG — Kegaduhan di kalangan insan pendidikan Kota Semarang yang dipicu drop out (DO) dua siswa SMAN 1 Semarang oleh manajemen sekolah mereka menarik perhatian Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin). SMAN 1 Semarang dinilai tergesa-gesa mengeluarkan kedua siswa itu atas dugaan kekerasan yang ditimpakan pengelola sekolah tersebut kepada mereka.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Pelanggaran memang harus diberikan sanksi. Tetapi sanksi apa harus mengeluarkan siswa? Apalagi, baru sekali melakukan pelanggaran,” kata Ketua Umum Abkin Prof. Mungin Eddy Wibowo di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (27/2/2018) malam.

[Baca juga SMAN 1 DO 2 Siswa, Ini Alasan Bu Kepsek…]

Hal tersebut diungkapkan guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) menanggapi dikeluarkannya dua siswa dari SMAN 1 Semarang atas dugaan kekerasan terhadap junior mereka saat kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK). Seperti ramai diberitakan, SMAN 1 Semarang mengeluarkan dua siswa kelas XII. Dua siswa yang semula hanya dipublikasikan dengan inisial AN dan AF karena dianggap sebagai anak-anak pelaku bullying itu belakangan dipublikasikan secara terbuka sebagai Anindya Puspita Helga Nur Fadhil dan Muhammad Afif Ashor karena ternyata justru korban kebijakan drop out paksa oleh SMAN 1 Semarang.

Kedua siswa itu adalah aktivis Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di sekolah menenah atas negeri yang dipimpin oleh Endang Suyatmi Listyaningsih. Selama ini, kedua siswa itu tidak pernah mencatatkan poin pelanggaran atas tata tertib sekolah. Namun, LDK OSIS SMAN 1 Semarang yang digelar November 2017 silam membuat keduanya kini menjadi pesakitan.

Keduanya divonis melakukan bullying atau perundungan terhadap adik kelas mereka. Tak cukup dengan itu, keduanya dinyatakan pula sebagai pelaku penganiayaan. Orang tua mereka dipanggil ke sekolah untuk diberi dua pilihan, yakni menarik putra dan putri mereka mundur dari SMAN 1 Semarang tanpa diadukan ke polisi atau anak mereka itu dikeluarkan dari sekolah dengan konsekuensi dijadikan pelaku kriminal.

Bukan hanya mengeluarkan dua siswa tersebut, SMAN 1 Semarang juga menjatuhkan sanksi skorsing terhadap tujuh siswa lain yang juga pengurus OSIS. Mereka semua dianggap bertanggung jawab karena terlibat menangani kegiatan LDK yang diwarnai tindak penganiayaan itu.

Menanggapi hal itu, Mungin Eddy Wibowo mengatakan harusnya ada kajian mendalam atas dugaan kekerasan yang dilakukan pada saat LDK, antara lain melihat bukti-buktinya, mengajak bicara orang tua dan pihak terkait, terutama Dinas Pendidikan Jawa Tengah. “Disdik Jateng sebagai pembina seluruh SMA sederajat di wilayah provinsi harus diajak rembukan, diajak bicara. Meski sekolah punya otonomi, tetap harus meminta pertimbangan. Apalagi, sanksinya mengeluarkan siswa,” katanya.

Ia mengakui setiap sekolah memiliki acuan tata tertib, berikut poin-poin pelanggaran yang dilakukan siswa beserta sanksi, tetapi tidak bijaksana menurut Mungin jika kemudian keputusan hanya mendasarkan pada akumulasi poin pelanggaran. “Dalam konseling siswa, harus mengedepankan sikap altruistik yang lebih manusiawi dalam memberikan sanksi. Jangan negatif antagonistik, seperti mengakumulasi poin pelanggaran, langsung mengeluarkan siswa,” katanya.

Kepala Program Studi Pascasarjana Jurusan Konseling Unnes itu mengatakan sikap altruistik dalam konseling selalu mempertimbangkan banyak faktor dalam memberikan sanksi agar jangan sampai menyakiti siswa yang bersangkutan. “Pada dasarnya, hukuman atau sanksi itu diberikan untuk apa? Agar siswa bisa mengubah perilaku secara lebih baik? Kalaupun terbukti, apa harus dengan mengeluarkan siswa? Bisa dimulai teguran, diingatkan, dan sebagainya,” katanya.

Diakui Mungin, sekolah mungkin sudah melihat rekaman saat kegiatan LDK, tetapi tidak harus kemudian langsung mengeluarkan siswa, apalagi siswanya sudah kelas XII yang mau Ujian Nasional (UN) dan selama ini belum pernah melanggar. “Apalagi, LDK itu sudah berlangsung lama, yakni November 2017. Kenapa baru sekarang bertindak? Bukankah setiap kegiatan sekolah diawali perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi begitu kegiatan selesai,” katanya.

[Baca juga Dikeluarkan Gara-Gara Tuduhan Bullying, Siswi SMAN 1 ke Ombudsman]

Sebelumnya, Kepala SMAN 1 Semarang Endang Suyatmi menyebutkan kedua siswa itu sudah melampaui poin pelanggaran sebagaimana diatur dalam tata tertib sehingga memberikan sanksi mengembalikan kepada orang tua yang bersangkutan. Akumulasi poin pelanggaran yang dilakukan masing-masing, yakni AF sebanyak 130 poin dan AN sebanyak 125 poin, kata dia, sementara batas maksimal 101 poin sudah memenuhi sanksi mengembalikan siswa kepada orang tua.

Meski demikian, Endang Suyatmi Listyaningsih yang tentunya merupakan penanggung jawab seluruh kegiatan di sekolah yang dipimpinnya itu mengakui jika jumlah poin pelanggaran dua siswanya itu hanya berasal dari satu perkara. Angka 130 poin pelanggaran tata tertib sekolah milik AF dan 125 poin bagi AN hanya dibukukan dari kegiatan LDK OSIS SMAN 1 Semarang semata, karena selama ini kedua siswa yang merupakan pengurus OSIS itu memang belum pernah melakukan pelanggaran.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya