SOLOPOS.COM - Noviyati Rahardjo Putri (Solopos/Istimewa)

Hari Pangan Sedunia diperingati setiap tanggal 16 Oktober setiap tahunnya. Peringatan ini menandai didirikannya Organisasi Pangan dan Pertanian (The Food and Agriculture Organization/FAO), lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan pada tahun 1945.

Peringatan Hari Pangan Sedunia kali pertama diusulkan oleh Menteri Pertanian dan Pangan Hongaria, Dr. Pal Romany pada konferensi umum anggota FAO pada tahun 1979. Setiap tahunnya FAO mengadopsi tema yang sesuai dengan situasi terkini dalam setiap perayaan Hari Pangan Sedunia. Mulai dari 1981 sampai dengan 2021.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Peringatan Hari Pangan tahun 2021 yang akan dilangsungkan di Brussel, Belgia mengusung tema “Our actions are our future – better production, better nutrition, a better environment and a better life”, “Aksi kita: masa depan – produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik lingkungan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik”.

Makanan yang kita pilih dan kita konsumsi akan berdampak pada kesehatan kita dan planet kita ke depannya. Tercatat, lebih dari tiga milliar populasi di dunia atau hampir 40% populasi di dunia tidak dapat memenuhi pola makan yang sehat untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari–hari. Apabila kita mengonsumsi makanan dengan pola yang tidak sehat akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan terutama kondisi malnutrisi.

Malnutrisi merupakan kondisi ketidakseimbangan antara suplai/pasokan nutrisi dengan kebutuhan dalam tubuh untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi spesifik organ tertentu. Kondisi malnutrisi bukan hanya berperawakan kurus (wasting), namun juga kegemukan (overweight) dan kerdil/pendek (stunting).

Stunting merupakan salah satu kondisi malnutrisi yang menjadi perhatian utama Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dikarenakan prevalensi malnutrisi stunting merupakan prevalensi malnutrisi terbesar di dunia dibandingkan kondisi lainnya, pada tahun 2020, data terakhir UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund atau Dana Darurat Anak Internasional), PBB menggambarkan prevalensi stunting mencapai 22%, kegemukan (overweight) 5,7% dan kurus (wasting) 6,7%.

Stunting atau disebut dengan kerdil/pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita). Seorang anak dikategorikan stunting apabila tingginya di bawah populasi normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin di mana hasil pengukurannya di bawah -2 (minus 2) standar deviasi (SD) dari standar WHO. Kondisi ini merupakan suatu kondisi kekurangan energi kronis dan infeksi berulang terutama saat periode emas, yaitu 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Periode ini dihitung mulai dari janin sampai dengan usia 23 bulan.

Stunting dapat menjadi salah satu prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia pada jangka panjang karena beberapa penelitian menyimpulkan bahwa anak stunting mengalami kecenderungan memiliki prestasi pendidikan yang kurang, penghasilan yang rendah saat usia dewasa, kurang sehat dan rentang pada penyakit tidak menular (degeneratif). Bahkan stunting dan masalah gizi lainnya diperkirakan dapat menurunkan produk domestik bruto (PDB) sekitar 3% per tahun.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) gencar dalam menggalang kegiatan dengan tujuan utama menurunkan angka stunting. Melalui Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly), target global penurunannya yang dicanangkan WHO adalah penurunan prevalensi stunting sebanyak 40% pada tahun 2025 dari prevalensi tahun 2013.

Upaya tersebut juga ditegaskan kembali dengan adanya tujuan pembangunan berkelanjutan/sustainable development goals (TPB/SDG). Salah satu target SDG adalah mengeradikasi/menghapuskan kekurangan gizi termasuk stunting pada tahun 2030. Upaya tersebut menggerakkan semua negara yang bernaung di WHO dan SDG untuk turut serta menurunkan prevalensi stunting pada wilayah masing-masing.

Upaya penurunan prevalensi balita (bawah lima tahun) stunting di global menunjukkan arah yang menggembirakan walaupun masih harus dipacu untuk bisa menghapuskan segala macam gangguan nutrisi pada tahun 2030. Pada tahun 2020, prevalensi stunting turun menjadi 22% dari angka 24,4% pada tahun 2015.

Di Indonesia, hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) terbaru tahun 2018, juga menunjukkan penurunan prevalensi stunting balita sebesar 6,4% selama lima tahun, di mana Riskesdas 2013 menggambarkan prevalensi stunting sebesar 37,2% dan turun menjadi 30,8% pada tahun 2018. Namun peringkat Indonesia pada tahun 2016 tercatat masih pada posisi 108 dari 132 negara pada pemeringkatan prevalensi stunting yang dilakukan oleh Global Nutrition Report.

Upaya percepatan pencegahan stunting dicanangkan pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 12 Juli 2017 yang diresmikan oleh wakil presiden dalam rapat tingkat menteri. Upaya pencegahan tersebut menggerakkan semua pemerintah daerah untuk menjadikan pencegahan stunting sebagai salah satu program prioritas dalam pemerintahan.

Pendekatan multi sekotoral dengan sinkronisasi program nasional dengan daerah serta turut menggerakkan pihak swasta. Salah satu sasaran prioritas dalam upaya pencegahan stunting adalah anak usia 0–23 bulan atau 1.000 HPK.

Seribu hari pertama kehidupan (1.000 HPK) merupakan salah satu masa emas periode tumbuh kembang anak. Pemberian ASI eksklusif, makanan pendamping ASI, dan pola asuh periode ini sangat mempengaruhi tumbuh kembang. Berdasarkan studi literasi pada modul Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) periode tahun 2018 sampai 2024, Riskesdes 2013 menggambarkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi stunting sesuai dengan usia balita dari 29% (pada usia 0–6 bulan), ke 39% (6-11 bulan), dan menjadi 42% (usia 24-35 bulan).

Balita usia lebih dari enam bulan sudah diperkenalkan dengan MPASI yang merupakan makanan tambahan dengan prinsip mudah dikonsumsi untuk bayi dan memenuhi kebutuhan nutrisi untuk tumbuh kembang optimal di saat ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan. Empat rekomendasi pada pemberian MPASI, antara lain tepat waktu, bergizi lengkap, cukup dan seimbang, aman, dan diberikan dengan cara yang benar.

Komposisi kebutuhan makanan bayi usia 6–12 bulan, yaitu karbohidrat 50%, lemak 40%, dan protein 10-15%. Di mana sebagian besar lemak diperlukan untuk pertumbuhan otak yang berupa kolesterol. Keragaman kebutuhan tersebut harus dipenuhi untuk optimalisasi tumbang bayi.

Berdasarkan Riskesdas 2018, keragaman konsumsi makanan pada usia balita di Indonesia masih belum mencapai 50% (46,6%), di mana keragaman tertinggi pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (69,2%) dan terendah pada provinsi Maluku Utara sebesar 16,7%.

Keragaman tersebut dinilai dari konsumsi 4 (empat) kelompok makanan dari tujuh kelompok makanan yang diperlukan untuk mencukupi nutrisi. Ketujuh nutrisi tersebut, antara lain: 1). serealia dan umbi-umbian, 2). kacang kacangan, 3). susu dan olahannya (yoghurt, susu, keju, dll.), 4). makanan daging (termasuk ikan, ayam, daging, hati, dll.), 5). telur, 6). sayur dan buah sumber vitamin A dan 7). sayur dan buah lainnya.

Sehingga apabila kita menghubungkan benang merah antara hasil Riskesdas 2013 tentang prevalensi stunting yang menungkat seiring dengan bertambahnya umur balita dengan keragaman konsumsi makan, dapat dikatakan bahwa MPASI di Indonesia masih belum beragam untuk memenuhi kebutuhan. Walaupun di luar itu, banyak faktor yang turut memengaruhi, misal penyakit, keturunan dan stimulasi. Selain itu berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia, pemenuhan kebutuhan energi, protein, besi, dan seng menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok balita stunting dan tidak
stunting.

Upaya pemerintah meningkatkan pemenuhan kebutuhan MPASI melalui booster pengetahuan dilakukan dengan upaya yang terdekat dengan ibu dan keluarga, yaitu edukasi yang telah dicetak pada setiap buku “wajib” setiap ibu hamil sampai anak berusia enam tahun, yaitu Buku Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA). Dalam buku tersebut telah dijelaskan bagaimana membuat MPASI dari makanan keluarga dan membuat MPASI dari makanan mentah. Kepemilikan buku KIA mencapai 88,3% pada anak usia 0–59 bulan baik yang bisa menunjukkan, tidak bisa, dan pernah memiliki.

Tonggak Hari Pangan Sedunia mengingatkan kita kembali dengan upaya intensif bangsa untuk menurunkan prevalensi stunting dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi salah satu sasaran prioritas, yaitu balita pada fase MPASI. Berdasarkan data Global Food Security Index tahun 2019, Indonesia mengalami perbaikan peringkat dibandingkan tahun 2018 pada Ketahanan Pangan dari tiga aspek pokok, yaitu segmen ketersediaan, akses dan keamanan, serta kualitas. Ketika secara matematis laporan Ketahanan Pangan di Indonesia terjaga namun prevalensi stunting di Indonesia masih di atas standar WHO (maksimal 20% populasi balita), maka diperlukan upaya terdekat untuk mengatasinya, yaitu peningkatkan pengetahuan dan perubahan budaya pemberian MPASI.

Baca Juga: Jadi Fokus Perhatian Pemkab, Ini Persebaran Anak Stunting

Upaya-upaya untuk menurunkan prevalensi stunting terkait dengan MPASI tersebut adalah membumikan informasi yang benar dari para ahli medis dan tenaga kesehatan terkait dengan kebutuhan MPASI pada balita. Selain ketahanan ekonomi untuk memasok kebutuhan pangan, pengetahuan dan informasi yang benar diperlukan sebagai dasar untuk praktik yang benar.

Beberapa upaya sederhana yang dapat dilakukan, antara lain adalah tidak memisahkan MPASI dengan makanan anggota keluarga lainnya, namun hanya disesuaikan bagian tekstur sesuai dengan usia balita; memastikan kebutuhan karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin terpenuhi, perkenalkan dengan keragaman rempah untuk menambah cita rasa MPASI dan menambah khasanah rasa bayi, mengurangi rasa pedas dan asam serta konsumsi garam dan gula dalam jumlah yang sedikit.



Praktik-praktik yang selama ini dijalankan adalah memberikan bayi makanan dengan sayur bening dan lauk tidaklah sepenuhnya benar, karena apabila kita menekankan pada sayur bening maka kebutuhan lemak dan protein bayi yang seharusnya bisa didapatkan dari makanan keluarga dapat terlewatkan. Jadi prinsipnya adalah makanan yang dikonsumsi keluarga dapat pula dikonsumsi balita dengan menyesuaikan tekstur sesuai dengan pertumbuhan. Namun tetap memperhatian aspek kebutuhan gizi seimbang sesuai dengan usia dan jadwal pemberiannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya