SOLOPOS.COM - Hery Trianto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Hanya ketika BRI dipimpin Sunarso, laba BRI kembali disalip Bank Mandiri. Seorang bankir senior mengatakan hal itu kepada saya merespons esai saya berjudul Diaspora Bank Mandiri yang terbit di Solopos beberapa hari lalu.

Sunarso tak lain adalah Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia  (Tbk.), bankir senior yang kenyang pegalaman dengan dua kali menjadi wakil direktur utama di bank yang sama, direktur utama PT Pegadaian (Persero), setelah lama menempa diri di Bank Mandiri sedari muda hingga menjadi salah satu direktur.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Saya mengatakan kepada bankir tersebut bahwa situasi yang dihadapi bank BUMN di tengah pandemi Covid-19 tidak mudah. Dalam beberapa kesempatan saya berbicara dengan Sunarso, dia mengatakan yang dihadapi sekarang barulah ekor dari krisis, ketika bank harus mengizinkan debitur menunda pembayaran bunga atau cicilan hingga enam atau 12 bulan.

Pada saat yang sama mana mungkin deposan mau ditunda pembayaran bunga simpanannya? Hasilnya, kita semua tahu, ekor krisis yang dimaksud Sunarso tadi terefleksi dari kinerja BRI yang mengalami penurunan laba konsolidasi hingga 37,4% menjadi Rp10,2 triliun pada semester pertama 2020.

Sejumlah analis menyebut BRI memang memiliki tantangan paling besar dalam menjaga kinerja tahun ini. Bank ini memiliki portofolio kredit untuk segmen usaha mikro, kecil, dan menengah.  Segmen debitur ini menjadi salah satu yang paling terdampak oleh Covid-19.

Dalam situasi krisis, kapasitas pemimpin berada di arena ujian sesungguhnya. Sunarso menghadapi sebuah tantangan berat, setidaknya dibandingkan dengan beberapa bank besar seperti Mandiri, BNI, dan BCA.

Bank Mandiri lebih beruntung daripada BRI karena hanya mengalami penurunan laba 24% menjadi Rp10,3 triliun. Selisih tipis laba sekitar Rp100 miliar inilah yang membawa Bank Mandiri untuk kali pertama sejak 2006 melampaui perolehan laba BRI.

BRI tidak saja disalip oleh Bank Mandiri, tetapi juga terpaksa kehilangan predikat bank dengan laba terbesar di Indonesia selama 14 tahun karena pada saat yang sama BCA mampu menahan laju penurunan. BCA kini merebut predikat itu dengan membukukan laba semester pertama 2020 sebesar Rp12,24 triliun, hanya turun 4% daripada periode yang sama tahun lalu.

Saya tahu yang dimaksud oleh bankir senior tadi tentu tak lepas perkembangan mutakhir ihwal diaspora Bank Mandiri yang kini ”menguasai” semua kursi direktur utama empat bank BUMN–pengendali 40% aset perbankan nasional. Anda juga pasti bisa menebak, ini adalah buntut dari favoritisme Menteri BUMN Erick Thohir.

Favoritisme terhadap talenta Bank Mandiri memang berimplikasi berkibarnya kader-kader bank tersebut di berbagai BUMN sekarang. Banyak yang mempertanyakan pilihan ini, tentu dengan berbagai macam alasan subjektif dan objektif.

Subjektif merujuk pada interest terganggunya zona nyaman bankir-bankir di luar Bank Mandiri yang tersebar di berbagai BUMN dan mungkin akan kehilangan peran. Para bankir memang memiliki keistemewaan khusus untuk menduduki posisi direktur keuangan seluruh sektor perusahaan, tetapi tidak demikian dengan perusahaan sektor lain untuk menjadi direktur sebuah bank.

Dari sisi objektif, kompetensi manajerial itu dibentuk dari pengalaman mengelola usaha yang berbanding lurus dengan kinerja. Cara paling mudah adalah dengan melihat kinerja laba perusahaan yang mengalami improvisasi secara berkelanjutan.

Kompetensi manajerial ini pada akhirnya tidak bisa instan dan merupakan hasil orkestrasi seorang pemimpin yang kemudian menciptakan pemimpin-pemimpin baru. Saya melihat para bankir di Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BCA memiliki tingkat kompetensi yang bisa diandalkan tercermin dari kinerja keuangan yang dihasilkan.

Dari empat bank itu, sependek pengamatan saya sebagai jurnalis, hingga akhir 2019 hanya BRI dan BCA yang paling konsisten mempertahankan kinerja. Paling tidak ini berdasarkan ukuran laba, aset, maupun kredit beserta kualitasnya yang terjaga dari waktu ke waktu.

Bank Mandiri memang kerap menunjukkan perbaikan yang mengesankan, namun pada sejumlah tahun mengalami turbulensi akibat kredit bermasalah yang merupakan kombinasi antara agresivitas strategi dan keliru mengambil pilihan bisnis.

Dalam hal ini kita bisa merujuk pada peristiwa 2005, ketika laba anjlok hingga 90%, dan 2016 yang terkoreksi  hingga 32%. Pada masing-masing zaman tersebut muncul dua tokoh yang memulihkan situasi, yakni Agus Martowardojo dan Kartika Wirjoatmodjo.

Untuk memahami kinerja, bankir yang menghubungi saya tersebut menyarankan agar kita melihat kinerja bank BUMN dalam 20 tahun terakhir sebelum mengambil kesimpulan bahwa bankir dari bank tertentu lebih baik dari lainnya.

“Bankir senior itu bicara data, bukan khayalan,” kata dia setengah berkelakar. Baiklah. Mari kita coba mundur ke belakang untuk membuka catatan laporan keuangan yang dengan mudah bisa diakses karena rutin dirilis otoritas perbankan maupun oleh bank.

Saya termasuk yang rutin mengonsumsi data ini sejak bank masih di bawah pengawasan Bank Indonesia maupun ketika beralih ke Otoritas Jasa Keuangan. Data yang tersedia sama baiknya. Saya hanya mencoba menarik garis dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Bloomberg, sejak 2016, BRI sebenarnya memiki tren pertumbuhan laba yang bervariasi dari hanya 3,14%, 10,69% (2017), 11,57% (2018), dan 6,25% pada akhir tahun lalu.

Pertumbuhan ini jauh lebih konsisten, misalnya, bila dibandingkan dengan Bank Mandiri yang sempat tersandung kredit bermasalah di sektor komersial pada 2016 sehingga laba anjlok hingga 32,1%. Masalah ini menimpa pada periode peralihan Direktur Utama Budi G. Sadikin dan Kartika Wirjoatmodjo–kini keduanya menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN.

Tiko–panggilan Kartika—hanya memerlukan waktu dua tahun untuk memperbaiki kinerja Bank Mandiri karena pada 2017 laba kembali tumbuh 49,49% dan pada 2018 naik 21,2%, sebelum pada 2019 terjadi perlambatan pertumbuhan di level 9,86%.

Adapun BCA bisa disebut sebagai bank yang konsisten dalam menjaga pertumbuhan laba kendati ada kecenderungan menurun, yakni 14,36%, 13,12%, 10,92%, dan 10,48% pada periode 2016 hingga 2019. Konsistensi ini terjaga kendati pada semester I mengalami penurunan laba bersih.

Sedangkan pertumbuhan laba BNI terus mengalami penurunan dari 25,06% pada 2016, 20,09% pada 2017, 10,27% pada 2018, dan tinggal 2,46% pada 2019. Pada semester pertama 2020, laba BNI terkoreksi paling dalam di antara empat bank terbesar, yakni mencapai 41,6%.

***

Dengan mengukur kinerja keuangan, kita memang bisa menilai hasil. Kinerja keuangan yang baik juga bukan semata-mata kerja seorang direktur utama, tetapi juga dukungan tim lapis kedua dan ketiga yang secara operasional menjaga performa. Kepempimpinan kuat tentu sangat penting, tetapi tanpa kualitas mumpuni kader di tengah dan di bawah mustahil hasil baik akan tercapai.

Saya hanya hendak mengatakan kader-kader di tingkat tengah pada 10 tahun hingga 15 tahun lalu inilah yang kini mengisi pos-pos penting. Kita bisa menyebut Agus Martowardojo adalah bidan dari lahirnya pemimpin-pemimpin dari Bank Mandiri di seluruh bank BUMN saat ini.

Apakah dengan demikian kader-kader yang ditempa dalam periode kepemimpinan Sofyan Basir di BRI tidak memiliki kompetensi sehebat kader Bank Mandiri?  Atau, apakah kader-kader BCA yang ditempa Jahja Setiaatmadja demikian juga halnya?

Sebaiknya kita hati-hati dalam mengambil kesimpulan, apalagi bila merujuk pada bottom line kedua bank yang disebut terakhir. Rasanya sangat sulit menafikan kinerja kedua bankir senior tersebut.

Keduanya bisa dibilang orang tepat berada pada saat yang tepat, bahkan Jahja bertahan hampir dua dekade sebagai direksi BCA, dari direktur keuangan, wakil presiden direktur, hingga presiden direktur saat ini. Demikian juga Sofyan yang kemudian meninggalkan BRI dan memimpin PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) hingga tahun lalu.

Nah, menjadi pertanyaan sekarang bila favoritisme bankir kemudian dijadikan acuan utama dalam pengambilan keputusan. Seperti saya tulis dalam kolom sebelumnya, akan menjadi pisau bermata dua.

Rasanya semua belum terlambat untuk dikoreksi, apalagi mendengar begitu banyak kasak-kusuk atas keputusan tersebut. Jangan sampai karena ingin berburu ikan yang terlihat bagus warnanya, tanpa sadar kehilangan ikan besar yang ada di tangan.

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya