SOLOPOS.COM - Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip Semarang Teguh Yuwono. (JIBI/Solopos/Antara/Istimewa)

Pemilu 2019 disebut akademisi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menerapkan sistem yang mampu menekan potensi konflik.

Semarangpos.com SEMARANG — Metode konversi suara sainte lague yang digunakan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 menjadikan potensi konfliknya rendah. Penilaian itu dikemukakan Ketua Program Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Teguh Yuwono di Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (4/3/2018).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Alumnus Flinders University Australia itu berpendapat bahwa sistem pemilihan umum sebelumnya, misalnya Pemilu 2004 yang menerapkan stembus-accord atau penggabungan sisa suara, justru tingkat konfliknya tinggi. Suara sisa di daerah pemilihan (dapil), menurut Teguh, potensi konfliknya lebih tinggi meskipun dalam UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ada ketentuan yang menyebutkan partai politik peserta pemilu tidak dibenarkan mengadakan perjanjian penggabungan sisa suara (vide Pasal 107).

Ia mengatakan bahwa sistem pemilihan umum mendatang dengan Pemilu 2014 berbeda metodenya. Akan tetapi, sistemnya sama-sama habis dibagi di dapil, atau suara habis di dapil. “Begitu di dapil penghitungan selesai, kursinya selesai,” tegasnya.

“Mana yang lebih bagus, tergantung dengan sistem yang dipilih. Sebetulnya bukan soal bagus atau tidak, melainkan setiap sistem punya konsekuensi sendiri-sendiri,” katanya.

Sistem pada Pemilu 2019, lanjut dia, konsekuensinya adalah suara habis di dapil. Akan tetapi, sistemnya menggunakan sainte lague, sistemnya peringkat (vide Pasal 420, UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum. “Kursinya ada tujuh, misalnya, peringkat satu sampai dengan tujuh yang dapat kursi. Peringkat yang lain yang tidak dapat kursi,” katanya.

Kalau sistem yang lama, suaranya tidak berdasarkan peringkat 1, 2, 3, dan seterusnya (sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia di masing-masing dapil), tetapi berdasarkan bilangan pembagi pemilihan (BPP). Angka BPP-nya 1.000 suara, misalnya, bila meraih 1.000 suara, partai tersebut meraih satu kursi.

“Mana yang baik atau mana yang buruk” kata Teguh, “Semuanya punya kelemahan, tergantung bagaimana sistem itu didesain untuk mengantisipasi supaya suara hilang makin kecil. Prinsipnya suara kecil bisa dihitung, tidak dibuang begitu saja.” Kalau secara akademik, menurut dia, lebih bagus pada Pemilu 2014 dan 2019 dengan sistem konversi suara habis di dapil, bukan ada stembus-accord atau suara sisa.

“Jadi, kalau ditanyakan mana yang lebih bagus untuk pembangunan demokrasi di Tanah Air, ya, sistem sekarang ini, yang habis di dapil,” katanya.

Ia lantas memaparkan kelebihan sistem pada Pemilu 2019, yakni potensi konfliknya rendah, realitas dukungan di dapil, dan penghitungannya tidak rumit karena tidak terdapat sisa suara di dapil. Dengan memperoleh dukungan di dapil, lanjut dia, calon anggota legislatif bersangkutan memiliki akar keterwakilan di tengah rakyat.

Hal itu berbeda dengan stembus-accord yang tingkat kerumitannya tinggi, yakni ada suara sisa, harus ditarik ke dapil atasnya. “Suaranya nanti habis di provinsi. Itu biasanya potensi konflik lebih tinggi, kerumitannya lebih tinggi, dan tingkat keterwakilannya rendah,” ucap Teguh.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya