SOLOPOS.COM - Ilustrasi Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (JIBI/Solopos/Antara)

Solopos.com, JAKARTA — Ketua DPR, Marzuki Alie, mengatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya bersih dari politisi agar bebas dari intervensi dan berbagai konflik kepentingan politik.

“Kalau BPK diisi oleh politisi atau yang berafiliasi ke partai, saya khawatir akan mengganggu eksistensi dan independensi BPK sebagai lembaga audit keuangan negara,” ujar Marzuki Alie dalam acara diksui dialektika demokrasi “Mencari Figur Anggota BPK yang Kompeten dan Berintegritas.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selain Marzuki turut menjadi nara sumber pada acara itu Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (Fitra) Yeni Sucipto, dan Roy Salam dari Indonesia Budget Center, di Gedung DPR, Kamis (4/9/2014).

Masuknya politisi ke BPK, kata Marzuki Alie, tidak dapat dihindari karena proses rekrutmennya dilakukan DPR sebagai lembaga politik. Namun demikian, dia mengkritisi sejak awal menjabat sebagai ketua DPR bahwa kurang tepat jika rekrutmen anggota BPK dilakukan oleh DPR.

“Dari dulu saya tidak setuju. DPR adalah lembaga politik.  Dalam rekrutmennya pasti ada perhitungan politik,” kata Marzuki mengomentari tahapan fit and proper test atas 67 calon anggota BPK yang tengah berlangsung di DPR.

Yeni Sucipto dan Roy Salam sependapat dengan Marzuki Alie. Keduanya menegaskan, BPK harus bersih dari politisi, karena kinerja mereka selama ini mengecewakan dan bahkan banyak keuangan negara yang bocor atau lepas dari audit BPK.

“Dari 67 calon anggota BPK terdapat 12 politisi atau mantan politisi DPR dan DPD. Padahal, BPK sebagai lembaga audit keuangan negara selama ini gagal diwujudkan. Karena itu, BPK harus bersih dan terlepas dari politisi,” ujar Yeni Sucipto.

Yeni menilai tiga politisi yang saat ini menjadi anggota BPK seperti mantan anggota DPR Rizal Djalil (PAN), Ali Masykur Musa (PKB), Teuku M. Nurlif (Golkar) tidak pantas lagi diplih menjadi anggota. “Kalau asal tunjuk politisi, DPR telah menciderai rakyat dan berarti ada indikator kepentingan politik, sehingga ke-12 politisi itu harus dipertimbangkan untuk ditolak karena rentan intervensi politik.,” ujarnya.

Menurut Yeni, selama 2008-2011 terdapat kasus keuangan BUMN Rp 125 triliun yang tidak terselesaikan sebagai potensi keuangan penerimaan negara. Sedangkan Roy Salam menilai audit BPK masih audit keuangan administratif, bukan audit kerja. Padahal, audit kerja itu lebih penting untuk mengetahui sejauh mana manfaat APBN itu dalam mensejahterakan rakyat.

“Manfaat itu akan makin sulit diwujudkan, jika politisi yang menjadi pejabat BPK, dan pasti akan makin sarat dengan konflik of interest politik. Bahwa membersihkan kotoran itu harus dengan sapu yang bersih, bukan sebaliknya,” ujar Roy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya