SOLOPOS.COM - Segaran Taman Sriwedari, Kota Solo, Jawa Tengah pada akhir 2020. (Dokumen Solopos)

Solopos.com, SOLO — Pemerhati budaya dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Tunjung W Sutirta, ikut menyoroti memanasnya kembali persoalan sengketa kawasan Sriwedari yang tak kunjung kelar. Ia mengatakan siapa pun nanti pengelolanya, Sriwedari harus dikembalikan ke fungsi awal.

Menurutnya, orientasi pembangunan lahan Sriwedari yang merupakan cagar budaya seharusnya difungsikan untuk kepentingan kebudayaan. Jika melihat sejarahnya Sriwedari dibangun oleh Paku Buwana X dengan fungsi awal sebagai bonraja atau Kebun Raja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tujuannya tak hanya untuk lelangenan atau bercengkerama, namun juga konservasi. “Bisa dilihat dari banyaknya pohon langka dan tanaman peneduh yang sangat sentral untuk mengatasi perubahan iklim. Kala itu visi PB X sangat melampaui zaman,” ujarnya saat diwawancarai Solopos.com, Kamis (6/1/2022).

Baca Juga: Kuasa Hukum Ahli Waris: Mbangun di Sriwedari Solo Bisa Dipenjara!

Ekspedisi Mudik 2024

Di sisi lain, kawasan Sriwedari juga jadi bagian dari pengembangan seni kebudayaan yang kemudian membuat Solo menjadi kota kapujanggan. Oleh karena itu, Tunjung menilai siapa pun pengelola Sriwedari nanti punya tanggung jawab penuh mengembalikan spirit Sriwedari.

kawasan sriwedari solo
Tundjung W. Sutirto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Jangan sampai fungsinya diubah menjadi pusat ekonomi atau niaga karena Solo sudah sesak dengan sektor tersebut. Selain itu kalau dibangun sebagai pusat niaga, Solo bisa kehilangan jejak sejarah dan kebudayaan.

“Saya rasa kurang pas kalau tempat yang dijadikan polemik enggak rampung-rampung ini berubah jadi pusat ekonomi atau konsentrasi niaga. Bisa kehilangan nilai sejarahnya. Sriwedari harus dimanifestasikan sebagai pusat budaya, karena ini kawasan budaya,” kata Tunjung.

Baca Juga: Bikin Melongo, Nilai Tanah Sriwedari Lebih Besar dari APBD Solo!

Penataan Kawasan

Seperti diketahui, sengketa tanah kawasan Sriwedari Solo kembali memanas setelah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang melalui putusan No:468/Pdt/2021/PT.SMG tanggal 8 Desember 2021 menolak gugatan perlawanan Pemkot Solo terhadap eksekusi.

Setelah itu, Pemkot Solo mengungkapkan rencana untuk membangun dan menata penataan kawasan tersebut pada tahun ini. Salah satunya yakni menata kawasan taman Segaran dan membangun gedung wayang orang (GWO). Anggarannya menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan.

Dalam hal ini Pemkot Solo berpegang pada kepemilikan empat sertifikat hak pakai (SHP) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Keempatnya yakni SHP Nomor 26, SHP Nomor 46, SHP Nomor 40, dan SHP Nomor 41.

Baca Juga: Pemkot Solo Dituding Sebar Provokasi dan Berita Bohong soal Sriwedari

Rencana tersebut sontak memancing reaksi dari ahli waris RMT Wirjodiningrat. Kuasa hukum ahli waris tanah Sriwedari Solo, Anwar Rachman, mengingatkan Pemkot Solo akan konsekuensi hukum yang mesti ditanggung apabila nekat membangun dan menata kawasan sengketa tersebut.

Dalam wawancara dengan Solopos.com, Kamis (6/1/2021), Anwar mengatakan saat ini siapa pun tak berhak membangun di lahan tersebut karena sudah disita.

“Jangankan Pemkot yang enggak punya hak kepemilikan. Ahli waris yang punya hak kepemilikan bangun di situ saja bisa masuk penjara kok, karena sudah disita dan sitanya belum dicabut. Kecuali sudah dieksekusi itu lain cerita,” kata Anwar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya