SOLOPOS.COM - Bambang Ari (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Kembali masyarakat Soloraya dihebohkan dengan munculnya pemberitaan terkait perobohan tembok Dalem Singopuran yang berada di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Hanya berselang kurang dari enam bulan, peristiwa sejenis kembali terulang pada awal Juli 2022.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa peristiwa tersebut dapat terulang dan apa sebenarnya penyebab kejadian tersebut muncul. Terkait pelestarian cagar budaya, baru ada dua peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang (UU) No. 11/2010 tentang Cagar Budaya (UUCB) serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2022 tentang Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya (PPCB).

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Dapat dikatakan terjadi “kekosongan hukum” selama hampir 12 tahun terkait pelestarian cagar budaya. Bandingkan dengan UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya serta PP No. 10/1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5/1992. Jeda atau selisih terbitnya UU itu dengan peraturan pelaksananya hanya satu tahun.

Sebagai praktisi hukum, selisih waktu yang cukup panjang tersebut berpotensi memunculkan banyak persoalan dalam implementasi undang-undang. Akibat berikutnya adalah munculnya permasalahan di lapangan akibat kekosongan hukum tersebut. Hal ini yang akan kita lihat dalam tulisan ini.

Oleh karena itu, tulisan ini dibuat dengan pendekatan studi pustaka dengan mencermati isi pasal-pasal yang ada, kemudian diperbandingkan dengan kondisi nyata berdasarkan fakta hukum yang terjadi. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan salah satu atau beberapa pihak.

Pengertian Perusakan

Kita perlu mengerti terlebih dahulu apa itu benda/bangunan cagar budaya supaya memiliki sudut pandang yang sama. Pasal 1 angka 1 UUCB tentang Ketentuan Umum menjelaskan “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”

Terkait pemahaman “perusakan”, UU No. 11/2010 mengaturnya pada Pasal 66 ayat (1). Bunyinya, “Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.”

Sayangnya pengertian perusakan sendiri tidak dijelaskan secara detail/rinci pada bagian penjelasan UU No. 11/2010. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata perusakan adalah proses, cara, perbuatan merusakkan. Perusakan sendiri berasal dari kata dasar rusak.

Bagaimana jika yang merobohkan pemerintah sendiri dengan alasan bangunan tersebut sudah lapuk? Peristiwa bangunan yang diduga bekas kepatihan yang dirobohkan Pemerintah Kota Surakarta sekitar 2019 adalah salah satu contohnya. Ini menjadi catatan dalam penegakan hukum terkait pelestarian cagar budaya yang tidak ada tindak lanjutnya.

Adapun yang termasuk dalam kategori perusakan cagar budaya, menurut penulis, selain merobohkan juga mencuri yang mengakibatkan rusaknya cagar budaya sebagian atau seluruhnya; pembiaran yang menjadikan cagar budaya rusak; serta vandalisme. Khusus kategori terakhir sering dilakukan oleh anak-anak.

Merujuk pada dua peristiwa yang dikategorikan sebagai perusakan cagar budaya di Kartasura, ada kesamaan objek hukum. Kedua objek hukum tersebut dimiliki oleh perorangan/pribadi (privat). UU Nomor 11/2010 Pasal 12 ayat (1) menjelaskan “Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

Sedangkan Pasal 12 ayat (2) menyebutkan “Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya tersebut telah memenuhi kebutuhan negara.” Lalu Pasal 12 ayat (3) menegaskan “Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai oleh Negara.”

Pendaftaran

Pasal 29 ayat (1) menerangkan “Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya wajib mendaftarkannya kepada pemerintah kabupaten/kota tanpa dipungut biaya”. Sedangkan Pasal 29 ayat (6) menjelaskan “Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak didaftarkan oleh pemiliknya dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.”

Pertanyaannya, bagaimana cagar budaya yang dimiliki perorangan tetapi didaftarkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah untuk mendapatkan registrasi nasional sebagai objek diduga cagar budaya (ODCB)? Pasal 29 ayat (3) menjelaskan “Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pendaftaran Cagar Budaya yang dikuasai oleh Negara atau yang tidak diketahui pemiliknya sesuai dengan tingkat kewenangannya.”

Selain itu, Pasal 157 PP No. 1/2022 mengatur “Dalam hal ODCB yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya ditemukan pada lokasi bukan milik penemu maka Kepemilikan Cagar Budaya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penemu dan pemilik lahan”. Karena itu, pendaftaran yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sukoharjo jika merujuk dua pasal ini dapat dibatalkan.

Jika merujuk Pasal 29 ayat (6), yang dimaksud dengan “diambil alih” tidak memiliki kejelasan yang pasti dalam bagian penjelasan. Apakah cagar budaya tersebut diambil alih oleh pemerintah? Atau pendaftarannya saja yang diambil alih oleh pemerintah? Mengingat ada Pasal 29 ayat (3) yang mengatur tata cara pendaftaran oleh pemerintah kabupaten/kota.

Kasus yang dapat dijadikan contoh adalah berakhirnya kepemilikan Benteng Vastenburg karena habisnya masa berlaku sertifikat hak guna bangunan (HGB). Namun, Pemerintah Kota Solo tidak bisa mengambil alih kepemilikan bangunan benteng tersebut hingga sekarang. Ini karena ada Pasal 18 UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.

Dalam Pasal 29 ayat (6), yang dimaksud dengan “diambil alih” tidak serta merta mencabut sekaligus hak atas tanah yang dimiliki perorangan. Bagaimana jika ada penolakan dari pemilik tanah atas pendaftaran yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota? Apakah dengan serta merta Pasal 29 ayat (6) akan dipergunakan? Adakah solusi yang lain?

Pasal 38 UUCB mengatur “Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan upaya aktif mencatat dan menyebarluaskan informasi tentang Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan keamanan dan kerahasiaan data yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sosialisasi ini bertujuan menambah literasi terhadap pelestarian cagar budaya di tengah masyarakat.

Penyebarluasan informasi tentu saja tidak hanya dilakukan dalam bentuk sosialisasi di ruangan tertutup yang dihadiri sebagian kecil masyarakat saja. Namun, sosialisasi juga harus dilakukan dalam bentuk yang lain seperti menggunakan saluran media yang bisa menjangkau khalayak lebih luas. Selain itu, pemerintah juga bisa membuat papan pengumuman yang dipasang di lokasi berdekatan dengan ODCB tersebut sebagai pemberitahuan.

Terkait pemilik bangunan yang diduga cagar budaya, tentu harus ada cara tersendiri. Misalnya dengan mengirimkan surat pemberitahuan. Jika pemilik menolak bangunannya didaftarkan, pemerintah bisa menyodorkan surat pernyataan tidak keberatan didaftarkan sekaligus tidak akan merusak bangunan tersebut.

Lebih jauh Pasal 58 ayat (2) PP No. 1/2022 mengatur “Menteri, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, dan/atau Setiap Orang wajib melindungi Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.” Sedangkan Pasal 58 ayat (1) PP No. 1/2022 menjelaskan “Perlindungan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) bertujuan untuk mempertahankan keberadaannya dari ancaman kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau gangguan manusia.”

Seyogyanya, kepemilikan cagar budaya bisa langsung dikuasai oleh pemerintah sehingga memudahkan pengawasan maupun perlindungan. Selain itu, kepemilikan oleh pemerintah tidak memunculkan masalah atau konflik dengan masyarakat terkait pelestarian benda cagar budaya tersebut. Namun, itu tidak mudah direalisasikan karena dibutuhkan biaya yang cukup besar.

Selain itu, ketidaktahuan masyarakat terkait pelestarian cagar budaya, termasuk data atau informasi cagar budaya, harus juga menjadi perhatian pemerintah. Saat ini, media penyebaran informasi lebih maju dan banyak pilihan. Baik yang bersifat konvensional seperti papan pengumuman, media cetak, sosialisasi langsung, serta yang bersifat modern melalui media sosial, podcast, dan lain-lain.



Tidak adanya anggaran bukanlah alasan “pemaaf” terkait tidak masifnya penyebaran informasi maupun sosialisasi kepada masyarakat. Jangan ada pemahaman bahwa “masyarakat harus tahu hukum” yang sudah diundangkan tanpa sosialisasi yang cukup, lalu menjadikan masyarakat “tersandera” karena selalu dalam posisi yang salah saat terjadi sengketa dengan pemerintah.

Sedikit catatan terkait dengan pengenaan Pasal 105 UUCB yang menegaskan “Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 [satu] tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 [lima ratus juta rupiah] dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 [lima miliar rupiah]”. Kata “yang dengan sengaja” harus dibuktikan jaksa penuntut apakah memang itu menjadi niat murni atau ketidaksengajaan dikarenakan ketidaktahuan.

Sebagaimana dikenal sebuah postulat hukum di negara-negara dengan sistem hukum common law yaitu actus non facit reum nisi mens sit rea. Artinya suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali dengan sikap batin yang salah. Mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan atau niat jahatnya. Sedangkan actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan.

Dalam prosedur penegakkan hukum pidana, terdapat dua pendapat mengenai mana yang harus terlihat lebih dahulu, actus reus atau mens rea? Secara umum, dalam penyelidikan otomatis penyelidik akan melihat actus reus karena pasti lebih dahulu terlihat dan dijadikan dasar untuk pemeriksaan lanjutan. Barulah penyelidik melihat mens rea (sikap batin) karena bukan hal yang bersifat fisik atau tidak selalu terlihat di tahap penyelidikan.

Baik mens rea dan actus reus, terlepas dari mana yang harus timbul lebih dahulu, keduanya adalah unsur yang harus ada dalam pertanggungjawaban pidana.

Esai ini ditulis oleh Bambang Ary Wibowo, advokat di Firma Hukum Bambang Ary Wibowo, SH & Associates.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya