SOLOPOS.COM - Wakil Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi dalam diskusi Pemuda dan Penegakan Moral Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Gedung DPD RI, Jalan Kusumanegara, Sabtu (16/4/2022). - Ist.

Solopos.com, JOGJA — Sekitar 65% pelaku kejahatan jalanan atau klitih di Jogja berasal dari keluarga broken home atau tidak utuh. Atas fakta itu, keberadaan regulasi terkait ketahanan keluarga perlu dikuatkan kembali.

Wakil Wali Kota Jogja, Heroe Poerwadi, mengatakan berdasarkan dari sejumlah kasus kekerasan jalanan sebelumnya, sekitar 65% pelaku berasal dari keluarga yang tidak utuh atau bermasalah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Karena kurangnya pengawasan dari orang tua sehingga anak bergabung dalam geng di luar sekolah. Kemudian terpengaruh teman melakukan tindakan yang negatif, salah satunya tindak kekerasan jalanan. Heroe sepakat bahwa keluarga harus memperkuat pengawasan pada anak agar tidak beraktivitas negatif di luar rumah.

Baca Juga: Marak Klitih, Pengelola Wisata di Bantul Ketar-Ketir Wisatawan Anjlok

“Sekarang kelompok geng sudah bergeser, pindah ke luar sekolah, mereka gabungan. Sudah tidak seideologi lagi misalnya dari sekolah tertentu, aktivitas mereka di luar sekolah. Berdasarkan kasus-kasus sebelumnya, 65 persen pelaku berasal dari broken home, misalnya anak dititipkan kakeknya,” kata Heroe dalam diskusi Pemuda dan Penegakan Moral Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Gedung DPD RI, Jalan Kusumanegara, Sabtu (16/4/2022).

Anggota DPD RI Cholid Mahmud mengatakan persoalan klitih  ini telah mendapatkan sorotan secara nasional dan beberapa kali viral di media sosial. Sehingga harus ada penanganan serius dan berkelanjutan.

Dengan banyaknya pelaku klithih dari keluarga broken home, maka pangkal persoalan hakekatnya pada keluarga. Anak yang kurang diawasi maka sudah pasti akan melakukan aktivitas di luar rumah, seperti bergabung dengan kelompok geng di sekolahnya.

Baca Juga: Antisipasi Klitih, Tempat Nongkrong di Jogja Bakal Didata dan Diawasi

“Sehingga dari sekolah jangan sampai ada kegiatan berkelompok di atas jam kepulangan sekolah misalnya di atas jam 15.00 WIB. Karena memungkinkan mereka berkelompok lalu bertemu di jalan, dari pertemuan ini kemudian ada rentetan selanjutnya. Kami juga heran anak-anak, mau bertengkar saja sampai ada yang membuat perjanjian,” ujarnya.

DIY sendiri telah memiliki Perda No.7/2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga. Cholid menilai perda ini harus diterapkan secara nyata melalui regulasi turunan untuk mencegah agar keluarga diperkuat guna mencegah anak bergabung dalam suatu kelompok geng.

“Karena faktanya kasus tentang kekerasan jalanan yang dilakukan anak ini terus berulang di Jogja. Menurut kami perlu ada gerakan bersama, misalnya tokoh agama memberikan ceramah tidak melulu soal agama tetapi juga memberikan solusi atas masalah sosial ini, bagaimana masyarakat didorong agar anak diawasi dan didampingi,” katanya.

Baca Juga: Antisipasi Parkir Nuthuk saat Lebaran, Pemkot Jogja Gandeng TNI/Polri

Terkait rencana DIY untuk memberikan tempat pendidikan dan pelatihan bagi mantan pelaku klitih, Cholid menilai wacana tersebut sah-sah saja diterapkan. Namun, menurutnya terpenting adalah pencegahan agar tidak mengalami kejadian serupa.

“Kalau yang sudah pelaku tentu biar menjalani hukuman saja, sebaiknya fokus pada anak-anak, bagaimana ada ketahanan di keluarga, sehingga anak tertangani,” ucapnya.

Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul Kebanyakan Pelaku Kekekrasan Jalanan di Jogja dari Keluarga Broken Home, Begini Saran Penanganannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya