SOLOPOS.COM - Ilustrasi balap liar. (JIBI/Solopos/Dok.)

Pelajar Sragen tak mungkin dilarang naik motor ke sekolah karena keterbatasan angkutan umum.

Solopos.com, SRAGEN — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen menganggap belum perlu mengeluarkan surat edaran (SE) larangan bagi pelajar di bawah umur untuk menggunakan sepeda motor saat berangkat dan pulang sekolah. Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen, Tatag Prabawanto, mengatakan Pemkab Sragen tidak bisa melarang orang tua siswa memfasilitasi kendaraan kepada buah hatinya untuk berangkat dan pulang sekolah.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Pasalnya, kebutuhan sarana transportasi yang menjangkau seluruh pedesaan di Bumi Sukowati belum terpenuhi. “Karena kalah bersaing, angkutan umum sudah terpinggirkan. Sudah banyak perusahaan angkutan umum yang gulung tikar. Ini karena biaya naik sepeda motor lebih murah dibandingkan naik angkutan umum,” jelas Tatag Prabawanto kepada Solopos.com, Minggu (25/9/2016).

Ekspedisi Mudik 2024

Tatag menjelaskan Pemkab Sragen hanya bisa mengimbau orang tua siswa untuk menyayangi buah hatinya dengan tidak memfasilitasi sepeda motor selama masih di bawah umur. Imbauan itu, kata Tatag, sudah sering disampaikan dalam sebuah pertemuan dengan orang tua siswa di sekolah. Meski begitu, Tatag mengakui imbauan itu lebih banyak diabaikan orang tua.

“Budaya konsumerisme itu telah meracuni pikiran masyarakat. Sekarang, orang tua melihat anaknya bisa mengendarai sepeda motor itu sebuah kebanggaan. Mereka tidak berpikir panjang sebelum membelikan anaknya sepeda motor. Harus diakui, gaya hedonisme itu menjadi salah satu pemicu semakin tingginya kepadatan lalu lintas di jalan,” ungkap Tatag.

Meski menganggap SE berisi larangan berkendaraan itu belum perlu, Tatag mengaku belum memiliki solusi untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pelajar. Berdasar data yang dihimpun dari Unit Laka Satlantas Polres Sragen, terdapat 229 pelajar yang terlibat kecelakaan lalu lintas selama Januari-September 2016. Enam pelajar di antaranya meninggal dunia dalam kecelakaan itu.

“Ini persoalan yang sulit untuk dicarikan solusi. Di sisi lain kami ingin orang tua siswa tidak memfasilitasi sepeda motor untuk anaknya, namun dilemanya, hal itu belum ditunjang sarana transportasi yang memadai,” terang Tatag.

Sementara itu, Sri Wahono, wali siswa asal Katelan, Tangen, mengaku memiliki keponakan yang bersekolah di Gesi. Setiap hari, keponakannya memanfaatkan sepeda motor sebagai sarana transportasi menuju dan pulang sekolah. Ketiadaan trayek angkutan pedesaan antarkecamatan di Sragen wilayah utara membuat orang tua terpaksa memfasilitasi anaknya dengan sepeda motor. Dia mengganggap SE larangan pelajar di bawah umur menggunakan sepeda motor berpotensi meningkatkan angka putus sekolah.

“Sudah 15 tahun lamanya tidak ada trayek angkutan dari Jenar-Tangen-Gesi-Sukodono-Mondokan. Adanya ojek. Antarkecamatan tarifnya Rp15.000. Kalau setiap hari PP naik ojek, biayanya Rp30.000. Kalau dalam sebulan 24 kali masuk sekolah, maka pengeluaran untuk transpotasi bisa membengkak menjadi Rp720.000. Kalau tak mampu bayar ojek? Ya pasti putus sekolah,” jelas Sri Wahono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya