SOLOPOS.COM - Wahono (kiri), orang tua pelajar SMK Semarang yang terseret ombak Pantai Parangtritis, terlihat sedih sambil menanti kabar keberadaan anaknya di rumahnya, Kampung Bongsari RT 002 RW 001, Semarang Barat, Selasa (16/8/2022). (Solopos.com-Adhik Kurniawan)

Solopos.com, SEMARANG — Peristiwa tragis menimpa seorang pelajar SMK Ibu Kartini, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Catur Prasetya, yang terseret ombak Pantai Parangtritis, Senin (15/8/2022). Berikut pengakuan ayah korban, terkait musibah yang menimpa anaknya.

Raut muka Wahono tampak sedih ketika disambangi Solopos.com di rumahnya, Kampung Bongsari, Semarang Barat, Selasa (16/8/2022). Wahono merupakan orang tua catur, siswa SMK Ibu Kartini Semarang yang dinyatakan hilang setelah terseret ombak Pantai Parangtritis, Yogyakarta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Wahono mengaku anaknya pergi ke Yogyakarta untuk mengikuti kegiatan kunjungan industri bersama teman-teman sekolahnya. Ia pun sempat mengantar sang anak ke sekolah di SMK Ibu Kartini, Jalan Imam Bonjol, Kota Semarang.

“Pas Senin [mengantar ke sekolah]. Dia bilang, ‘pak aku ora usah gawa kendaraan [pak saya enggak usah bawa kendaraan]. Kemudian, dia saya antar,” ujar Wahono.

Pria berusia 63 itu mengaku selepas diantar ke sekolah, anaknya tidak menunjukkan perilaku yang aneh. Namun saat sore hari, ia justru mendengar kabar yang mengejutkan terkait musibah yang menimpa anaknya tersebut.

Baca juga: Piknik di Pantai Parangtritis, 2 Pelajar Semarang Terseret Ombak

“Sekitar pukul 15.15 WIB, saya dapat kabar kalau anak saya hilang terbawa ombak [Pantai] Parangtritis. Dia sebenarnya sempat ditolong dua temannya, tapi terlepas. Sampai sekarang belum ada kabar anak saya ditemukan,” ujarnya.

Wahono mengaku Catur, pelajar SMK Ibu Kartini Semarang yang terseret ombak Pantai Parangtritis itu merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ia merupakan sosok anak yang pendiam, namun patuh kepada orang tua.

“Saya sayang banget sama dia. Dia itu anaknya pendiam. Tapi kalau sama orang tua sangat penurut. Kalau di rumah tidak neko-neko [aneh-aneh]. Sukanya main bola, belajar di rumah tetangga,” ujarnya.

Segera Ketemu

Wahono pun berharap tim SAR gabungan segera menemukan keberadaan anaknya. “Terakhir dia sempat bilang ke mbaknya [kakak perempuan], ‘Aku jam papat ora balik omah [aku jam empat enggak pulang ke rumah]’. Sama temannya juga bilang kayak gitu. Ternyata, kena musibah kayak gini,” ujar Wahono sambil menyeka air mata.

Baca juga: Ombak Besar Terbelah, Fenomena Rip Current di Pantai Selatan Jawa

Diberitakan sebelumnya, Catur merupakan satu dari dua pelajar SMK Ibu Kartini Semarang yang terseret ombak di Pantai Parangtritis, Senin. Meski demikian, satu orang berhasil diselamatkan, sedangkan satu pelajar masih hilang.

Kedua pelajar ini merupakan rombongan pelajar dari SMK Ibu Kartini, Kota Semarang, yang datang ke Pantai Parangtritis dengan menggunakan sembilan bus. Rombongan itu tiba di pantai pukul 14.15 WIB dan kemudian menuju pantai.



Diduga terlalu asyik bermain air dan terlalu ke tengah laut, dua pelajar SMK di Semarang itu pun terseret ombak Parangtritis. Dua pelajar itu bernama Guruh, 17, dan Catur, 17. Satu pelajar bernama Guruh berhasil diselamatkan, sedangka Catur masih dalam proses pencarian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng

Beraksi Siang Bolong, Duo Maling Spesialis HP Dihajar Massa di Bringin Semarang

Beraksi Siang Bolong, Duo Maling Spesialis HP Dihajar Massa di Bringin Semarang
author
Mariyana Ricky P.D Sabtu, 20 April 2024 - 13:58 WIB
share
SOLOPOS.COM - Kedua pelaku pencurian handphone yang beraksi di sebuah rumah di Desa Tempuran, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Jateng) saat mintai keterangan di Mapolsek Bringin, Sabtu (20/4/2024). (Solopos.com/Hawin Alaina)

Solopos.com, UNGARAN – Nekat beraksi di siang hari, dua pencuri spesialis handphone berhasil ditangkap dan sempat dihajar warga.

Kejadian itu terjadi di Desa Tempuran, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Jumat (19/4/2024). Saat ini kedua pelaku sudah diamankan di Mapolsek Bringin untuk dilakukan penyelidikan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kapolsek Bringin Iptu Sudaryono menjelaskan, kedua pencuri itu beraksi di rumah Risda yang berada di Dusun Tempuran, Desa Tempuran, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.

Sebelum beraksi, pencuri yang bernama Andi, warga Kota Semarang itu, melihat situasi rumah yang sepi. Sementara temannya Yuliyanto, warga Purbalingga, menunggu di sepeda motor.

Koran Solopos

“Saat kejadian, korban ini sedang di dapur dan handphone merek Xiaomi 6A di letakkan di tempat tidur. Saat kembali ke tempat tidur itu korban mengetahui orang asing dan mengambil handphonenya,” ungkap Kapolsek saat ditemui Solopos.com, Sabtu (20/4/2024).

Selanjutnya, korban melaporkan kepada ayahnya dan kemudian mendapati ada satu rekan pelaku Yuliyanto yang menunggu di sepeda motor kabur. Melihat hal itu ayah korban mengejarnya dan berhasil menangkap pelaku.

“Ada pelaku kedua yang naik motor, pas mau kabur langsung ditendang dan diteriaki maling. Kemudian warga keluar dan mengamankan pelaku,” terang Iptu Sudaryono.

Emagazine Solopos

Sementara pelaku Andi berhasil ditangkap warga meski sempat kabur di sekitar lokasi kejadian. Dikatakan kedua pelaku memang memiliki niat untuk mencuri. Sebab keduanya tidak memiliki sanak keluarga di wilayah Bringin.

Disebutkan, salah seorang pelaku yang bernama Andi diketahui merupakan residivis kasus yang sama dan beraksi di wilayah hukum Polres Demak.

“Kepada tersangka akan dikenakan pasal 363 ayat 1 pencurian dengan pemberatan dengan ancaman 7 tahun,” tandas Kapolsek.

Interaktif Solopos



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.

Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia
author
Abu Nadzib , 
Abu Nadzib Sabtu, 20 April 2024 - 13:49 WIB
share
SOLOPOS.COM - Siswa mengenakan baju ada saat mengikuti fashion show,di halaman SD Negeri Kepatihan Solo, Kamis (18/4/2024). Kegiatan yang diikuti 136 siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas 6 dan sejumlah guru tersebut dalam rangka memperingati Hari Kartini. (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Solopos.com, SOLO — Peringatan Hari Kartini setiap tanggal 21 April mengingatkan pada sosok seorang pejuang emansipasi perempuan bernama Raden Ajeng Kartini.

Kartini yang lahir 21 April 1879 merupakan sosok perempuan yang dilahirkan di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ayah Kartini bernama R.M.A.A. Sosroningrat sedangkan ibunya adalah M.A. Ngasirah.

Ibunda Kartini merupakan istri pertama Sosroningrat namun bukan yang utama karena peraturan pemerintah kolonial kala itu mengharuskan seorang bupati beristri bangsawan.

Sosronigrat kemudian menikah lagi dengan RA Woerjan (Moerjam).

Perkawinan Sosroningrat dengan Ngasirah melahirkan delapan anak yakni R.M. Slamet Sosroningrat; P. Sosroboesono; R.M. Panji Sosro Kartono; R.A. Kartini; R.A. Kardinah; R.M. Sosro Mulyono; R.A. Sumatri Sosrohadi Kusumo, R.M. Sosrorawito.

Koran Solopos

Sementara perkawinan Sosroningrat dengan Moerjam melahirkan tiga anak yakni R.A. Sulastri Hadisosro; R.A. Roekmini dan R.A. Kartinah.

Saudara-saudara Kartini kemudian tercatat sejarah tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan besar bagi cita-cita perdamaian dan kemajuan bangsa.

Kakaknya Sosroboesono menjadi Bupati Ngawi, Jawa Timur yang dikenal sebagai pionir pertukangan di daerahnya.

Sementara itu Sosrokartono terkenal karena kemampuan intelektualnya yang berkaliber internasional.

Ia pernah menjadi koresponden majalah Times, Chicago Daily News, dan New York Herald Tribune.

Sosrokartono juga dikenal sebagai tokoh yang selalu menyuarakan perdamaian di Eropa melalui kongres-kongres dan seminar di Eropa.

Pahlawan Nasional

Kartini dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan (SK) Presiden RI Nomor 108/5/1964.

Tanggal lahirnya juga ditetapkan sebagai hari nasional.

Lahir pada 21 April 1879, Kartini meninggal dunia di usia muda yakni 25 tahun pada 17 September 1904 di Rembang, Jawa Tengah.

Emagazine Solopos

Tentang sosok pahlawan nasional yang meninggal di usia sangat muda yakni 25 tahun itu bisa dibaca dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang merupakan kumpulan pemikiran perempuan ningrat asal Jepara, Jawa Tengah itu.

Buku tersebut diterbitkan oleh sahabat Kartini di Belanda, JH Abendanon, dari kumpulan surat Kartini pada awal abad ke-20 sejak gadis Jepara itu masih berusia 10 tahun.

Buku berjudul asli Door Duisternis tot Licht diterbitkan pada tahun 1911, sebagai bentuk penghargaan luar biasanya untuk sang sahabat yang meninggal di usia sangat muda.

Buku tersebut lantas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Sementara itu Agnes Louise Symmers menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul Letters of A Javanese Princes.

Saat berpulang seusai melahirkan anak pertamanya tersebut, masih banyak cita-cita Kartini soal emansipasi perempuan di Indonesia yang belum terwujud.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang akhirnya menjadi mahakarya sastra yang sangat berharga bagi sejarah pergerakan emansipasi perempuan di Indonesia.

Dikutip dari sejumlah literatur, Kartini yang lahir pada tahun 1879 adalah seorang wanita Jawa yang hidup pada masa ketika perempuan masih sangat terbelakang dan terkungkung dalam tradisi patriarki.

Kartini mengekspresikan kegalauannya itu dalam surat-suratnya kepada sejumlah sahabatnya di Eropa, terutama kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminisme yang tinggal di Belanda.

Interaktif Solopos

Dalam surat-suratnya, Kartini mengekspresikan keinginan dan impian untuk menjadi wanita modern yang bisa belajar dan berkarya di luar rumah seperti halnya kaum laki-laki tanpa harus terbatasi oleh tradisi dan budaya.

Sebagian besar surat-surat Kartini mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal.

Hal ini disebabkan oleh aturan adat dan budaya Jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang
inferior bila dibandingkan kaum laki-laki.

Surat-surat Kartini mengeksplorasi tentang kondisi pendidikan untuk kaum perempuan pada masa itu yang masih sangat memprihatinkan.

Stigma yang mengakar kuat kala itu, perempuan diidentikkan dengan sumur (mencuci), dapur (memasak) dan kasur (seksual) sehingga tak pernah mendapatkan pendidikan tinggi.

Peranan wanita hanya berkutat pada tiga hal macak (bersolek), masak (memasak) dan manak (melahirkan).

Perempuan diistilahkan sebagai kanca wingking (teman di belakang), yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang.

Karena stigma marjinal tersebut, bagi masyarakat Jawa ketika itu wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi.

“Itu yang didobrak Kartini. Bagi Kartini, pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kebebasan bagi wanita Indonesia di masa mendatang,” tulis Sudrajat, peneliti sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), seperti dikutip Solopos.com dari karyanya berjudul Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya, Sabtu (20/4/2024).



Dalam surat-suratnya, Kartini mengekspresikan keinginan dan impian untuk menjadi wanita modern yang bisa belajar dan berkarya di luar rumah seperti halnya kaum laki-laki tanpa harus terbatasi oleh tradisi dan budaya.

Sebagian besar surat-surat Kartini mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal.

Hal ini disebabkan oleh aturan adat dan budaya Jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang
inferior bila dibandingkan kaum laki-laki.

Surat-surat Kartini mengeksplorasi tentang kondisi pendidikan untuk kaum perempuan pada masa itu yang masih sangat memprihatinkan.

Stigma yang mengakar kuat kala itu, perempuan diidentikkan dengan sumur (mencuci), dapur (memasak) dan kasur (seksual) sehingga tak pernah mendapatkan pendidikan tinggi.

Peranan wanita hanya berkutat pada tiga hal macak (bersolek), masak (memasak) dan manak (melahirkan).

Perempuan diistilahkan sebagai kanca wingking (teman di belakang), yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang.

Karena stigma marjinal tersebut, bagi masyarakat Jawa ketika itu wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi.

“Itu yang didobrak Kartini. Bagi Kartini, pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kebebasan bagi wanita Indonesia di masa mendatang,” tulis Sudrajat, peneliti sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), seperti dikutip Solopos.com dari karyanya berjudul Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya, Sabtu (20/4/2024).



Kartini juga mengkritik tradisi Jawa yang dianggap merugikan perempuan seperti adat poligami dan perjodohan yang sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan keinginan perempuan yang bersangkutan.

Gadis di usia belasan tahun dijodohkan oleh orang tua mereka dengan laki-laki yang tidak ia kenal sebelumnya.

Surat-surat yang ditulis oleh Kartini, sebagaimana digambarkan dalam buku Buku Habis Gelap Terbitlah Terang, memperlihatkan kecerdasan, keberanian, dan kegigihan seorang wanita muda yang ingin berjuang untuk hak-haknya.

Kartini menunjukkan keberaniannya mengkritik budaya patriarki Jawa yang sangat mengatur hidup wanita Indonesia.

Kegigihan mendiang Kartini ini yang membuat pemerintah menghadiahinya gelar pahlawan nasional yang berjuang untuk kesetaraan gender dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Buku ini juga memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kehidupan sosial dan budaya Indonesia pada awal abad ke-20, serta memberikan gambaran tentang sejarah perjuangan perempuan Indonesia.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang banyak dikupas oleh berbagai tulisan baik dari Indonesia maupun mancanegara.

Salah satu pembahasan terbaik adalah The Letters of R.A. Kartinic A Pioneer in the Emancipation of Indonesian Women yang ditulis oleh Agnes Louise Symmers.

Pembahasan lainnya ditulis oleh Harsja W. Bachtiar, Kartini: The Complete Works yang ditulis oleh Joost Coté.



Tragedi Kartini

Sejarawan UNY Sudrajat mengatakan refleksi kritis Kartini tentang keadaan kaum wanita pada zamannya merupakan embrio tumbuhnya nasionalisme meskipun sifatnya masih samar.

Kartini dalam surat-suratnya menyebut, keadaan wanita Indonesia pada zaman itu sangat memprihatinkan karena terbelenggu oleh hukum adat yang sangat bias terhadap gender.

Pada zaman Kartini wanita merupakan makhluk inferior bila dibandingkan pria.

“Mereka tidak diperkenankan untuk tampil dalam kegitan-kegiatan publik. Mereka juga tidak mendapat pendidikan secara layak. Di samping itu adanya kawin paksa merupakan sebuah pemberangusan terhadap kebebasan gadis-gadis untuk menentukan sendiri calon suaminya,” katanya.

Kartini juga mengkritisi maraknya poligami yang dilakukan oleh para bangsawan Jawa pada masa tersebut, termasuk ayah dan kakak-kakaknya.

Menurut Kartini itu semua merupakan sebuah konstruk budaya yang sangat tidak adil.

Sayangnya Kartini sendiri tidak berdaya untuk menghadapi semua keadaan tersebut. Ia harus memendam keinginannya untuk melanjutkan studinya ke Eropa hingga akhir hidupnya.

Kartini juga harus menjalani masa pingitan serta menikah dengan laki-laki yang merupakan pilihan orang tuanya.

“Inilah dilema perjuangan Kartini, di mana dia harus mengalahkan komitmen dan idealismenya demi menjaga
keharmonisan dengan ayahnya,” lanjut Sudrajat.



Meski harus wafat di usia muda dengan cita-cita yang belum tercapai, setidaknya generasi sekarang bisa mengambil pelajaran dari pemikiran Kartini tentang nasionalisme.

Nasionalisme Kartini bisa dilihat dari idenya meningkatkan derajat bangsa, solidaritas sosial serta persatuan di antara kaum muda.

Nasionalisme Kartini dapat dilacak dari pemikirannya yang terdapat dalam surat-suratnya.

Dalam suratnya berbahasa Inggris kepada sahabat penanya yang tinggal di Eropa, Stella Zeehandelaar pada tanggal 12 Januari 1900, Kartini mengutip pandangan ayahnya dalam sebuah nota yang dikirimkan kepada
pemerintah Hindia Belanda.

“Ayah mengatakan dalam catatannya bahwa pemerintah tidak bisa menyediakan nasi untuk setiap orang Jawa, dan memastikan bahwa ia mampu mengambil bagian di dalamnya. Tapi itu bisa memberinya sarana untuk mencapai tempat itu dia bisa menemukan makanannya. Sarananya adalah pendidikan. Ketika pemerintah menyediakan sarana pendidikan bagi masyarakat, ibaratnya meletakkan obor di tangan mereka yang mana memungkinkan mereka menemukan jalan bagus yang menuju ke tempat di mana nasi disajikan. Dari situ Anda akan belajar sesuatu tentang kondisi masyarakat saat ini. Ayah ingin melakukan apapun yang dia bisa untuk membantu orang-orang dan tentu saja, saya ikut serta di sisinya,” tulis Kartini seperti dikutip Hildred Geertz dalam bukunya berjudul Letters of A Javanese Princess: Raden Adjeng Kartini” tahun 1964.

Di mata Kartini, satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan pendidikan.

Menurut Kartini, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan lain-lain berakar dari ketidaktahuan masyarakat tentang cara menghadapinya.

Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk meningkatkan derajat hidupnya. Oleh karenanya pendidikan mutlak dibutuhkan untuk membuka cakrawala pemikiran bangsa ini dan sekaligus memberdayakan rakyat untuk kesejahteraan dan kemakmurannya sendiri.

“Oleh karenanya Kartini kemudian sangat antusias mendirikan sekolah khususnya sekolah wanita,” kata Sudrajat.



Indonesia pantas berterima kasih kepada JH Abendanon yang mengabadikan pemikiran-pemikiran Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht).

Sebab jika tidak, generasi sekarang takkan pernah tahu tentang pemikiran dari pejuang emansipasi perempuan Indonesia tersebut.

Tanpa adanya buku tersebut, Kartini takkan diketahui pernah memperjuangkan emansipasi.

Kartini hanya akan menjadi seperti perempuan-perempuan lain di masa itu, yang lahir lalu menikah di usia muda lalu meninggal dunia.

Kartini menjalani nasib dari apa yang ditentangnya tersebut. Ia tak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi karena tidak mendapat izin dari orang tua.

Praktis sampai usia 12 tahun, Kartini mendapat pendidikan hanya sampai di Europese Lagere School yang membuatnya pandai berbahasa dan sastra Belanda.

Ia langganan membaca surat kabar yang terbit di Semarang, De Locomotief; membaca buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli; serta De Stille Kracht karya Louis Coperus.

Di saat yang sama, meski baru berusia 12 tahun Kartini sudah rutin menulis untuk majalah perempuan yang terbit di Belanda bernama De Hollandsche Lelie.

Hingga akhir hayatnya, cita-cita Kartini untuk melajutkan sekolahnya ke Belanda tak pernah tercapai.

Sang ayah tidak mengizinkan Kartini sekolah di Belanda, kendati dirinya mendapat dukungan dari rekan-rekan penanya di negara tersebut, terutama Stella Zeehandelaar.

Kartini juga mengalami nasib seperti perempuan-perempuan sebayanya di masa itu, yakni menjalani masa pingitan sebagai persiapan menikah di usia 11 tahun.

Laki-laki yang kemudian menjadi suaminya juga merupakan pilihan ayahnya yang tidak ia kenal sebelumnya.

Suryanto Sastroatmodjo dalam bukunya berjudul Tragedi Kartini menulis, realitas budaya Jawa yang harus dijalani Kartini merupakan tragedi bagi perempuan yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno pada 2 Mei 1964 ini.

“Ia harus berhadapan dengan realitas budaya Jawa di mana dia harus mengalami masa pingitan pada umur 11 tahun dan menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Inilah tragedi yang dialami oleh Kartini, sesuatu yang sangat ditentangnya namun terpaksa diterima demi rasa hormat dan patuh kepada ayahnya,” katanya.

Sayangnya, perjuangan berat Kartini untuk emansipasi perempuan Indonesia di masa sekarang mengalami reduksi makna.

Peringatan Hari Kartini setiap tanggal 21 April sering diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak menyasar pada substansi perjuangan sang pahlawan.

Tomy F. Awuy dalam bukunya Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan (2005) mengkritik semaraknya perayaan di sekolah dengan busana tradisional berupa kain kebaya dan aneka lomba.

Namun menurutnya, kemeriahan peringatan Hari Kartini tidak berarti merupakan sebuah ekspresi dari pendalaman nilai-nilai perjuangan Kartini.

“Namun kemeriahan peringatan Hari Kartini tidak berarti merupakan sebuah ekspresi dari pendalaman nilai-nilai perjuangan Kartini. Bahkan momentum tersebut terkadang diselipi dengan hal-hal yang tidak selaras dengan nilai-nilai perjuangan Kartini seperti kontes kecantikan, untuk kemudian pemenangnya dipilih menjadi Putri Kartini,” tulisnya.

Bagi pemenang lomba, ujar dia, memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan job-job yang menggiurkan, seperti menjadi model atau bintang sinetron misalnya.

“Bagi yang tidak cantik meskipun memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa, jangan harap untuk dapat menjadi juara,” kritiknya.

Kritikan terhadap perayaan Hari Kartini yang identik dengan formalitas belaka juga datang dari Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kepala Pusat Studi Wanita UGM, Dr. Widya Nayati, M.A., mengatakan Hari Kartini seharusnya tidak diisi dengan aktivitas yang hanya bersifat formalitas.

Menurutnya, Hari Kartini memiliki makna yang mendalam dan menjadi momen refleksi bagi warga Indonesia.

Seharusnya peringatan itu harus dijadikan teladan dan hari libur bukanlah menjadi refleksi keteladanan perjuangan Kartini.

“Sering kali saat peringatan hari besar hanya sekadar upacara tapi tidak masuk hati. Sekadar hari libur bukan menjadi refleksi yang menjadikan kita lebih hebat,” ucapnya seperti dikutip dari situs resmi UGM.

Ia berpendapat, dengan peringatan Hari Kartini generasi sekarang mengetahui sekilas tentang sosok R.A Kartini serta kalimatnya yang terkenal “habis gelap terbitlah terang”.

Namun tidak banyak orang yang tahu tentang profil, capaian, serta catatan sejarah tentang sosok Kartini.

Ia mengungkapkan, Kartini menjadi teladan seorang insan muda yang tekun mencari ilmu dan membagikannya bagi banyak orang, memanfaatkan kesempatan yang ia miliki untuk belajar dan berdiskusi bagi kepentingan dan kemajuan banyak orang.

Teladan ini menurutnya perlu ditiru oleh banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak muda maupun orang tua.

“Bayangkan pada abad itu dengan keterbatasan yang ada beliau mampu belajar banyak dan mau melakukan sesuatu tidak hanya untuk dia sendiri tetapi juga untuk teman-temannya. Tapi sekarang banyak orang egois hanya mencari ilmu untuk dirinya sendiri,” ucapnya.

Menurutnya, peringatan Hari Kartini yang umumnya dilakukan dengan mengenakan busana daerah tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan penghayatan yang benar.

Pemahaman keteladanan para pahlawan akan menimbulkan kesadaran serta dorongan untuk ikut berperan menjadi Kartini masa kini, yang dapat menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.

Rupiah Melemah, Apindo Jateng Ancang-ancang Naikkan Harga Produk Manufaktur

Rupiah Melemah, Apindo Jateng Ancang-ancang Naikkan Harga Produk Manufaktur
author
Mariyana Ricky P.D Sabtu, 20 April 2024 - 13:41 WIB
share
SOLOPOS.COM - ilustrasi (JIBI/dok)

Solopos.com, SEMARANG – Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika (USD) yang menyentuh angka Rp16.218.25, membuat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah (Jateng) ancang-ancang menaikkan harga produk manufaktur yang diproduksi di pabrik.

Sebab, situasi yang dialami para pengusaha kini sangat berat dengan adanya nilai tukar rupiah yang semakin lesu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Apindo Jateng, Frans Kongi, mengaku sekitar 80 persen bahan baku untuk industri manufaktur di 35 kabupaten/kota masih mengandalkan dari kiriman barang impor. Oleh karena itu, dollar AS yang semakin menguat makin tidak menguntungkan kalangan pengusaha.

“Sangat berbahaya dan paling kami takuti [rupiah melemah]. Karena industri kita 80 persen bahan baku harus impor. Kalau kita impor bayarnya pakai Dollar,” ungkap Frans kepada wartawan, Sabtu (20/4/2024).

Koran Solopos

Semakin melemahnya nilai tukar rupiah, lanjut Frans, turut melemahkan pengusaha yang bergerak di eksportir.

Musababnya, tarif kargo kapal dari jalur Jawa Tengah menuju Eropa dipastikan sudah naik dua sampai tiga kali lipat.

“Jangan lupa ada rantai pasokan yang mengalami gangguan. Sebab, biaya kapal dari Jateng ke Eropa sudah naik [2-3 kali lipat]. Anggota kami laporkan demikian. Imbasnya ke produk garmen dan ekspor kita. Apalagi sekarang ada perang Iran. Ini betul-betul sangat berat,” sambungnya.

Emagazine Solopos

Jalan satu-satunya, Apindo Jateng akan memberlakukan kenaikan harga produk manufaktur untuk semua jenis.

Akan tetapi, besaran kenaikan barang akan disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat Jawa Tengah.

Apindo Jateng juga menaruh harapan yang tinggi kepada tim perekonomian nasional yang dipimpin Menkeu Sri Mulyani dan Bank Indonesia. Ia berharap pemerintah bisa secepatnya mengendalikan nilai tukar Rupiah.

Interaktif Solopos

“Harga-harga barang manufaktur kayak pakaian sepatu dan sejenisnya pasti naik tapi perlu juga dilihat daya beli masyarakatnya. Karena menguatnya Dollar ini untuk beberapa industri masih oke misalnya tambang, pertanian kelapa sawit mungkin masih oke. Kayu masih menguntungkan. Tapi saya percaya Menkeu bisa kerja luar biasa untuk jaga Rupiah. Sebab kalau tidak diantisipasi dengan cepat pasti menimbulkan inflasi. Harga minyak akan naik. Listrik akan naik. Gas akan naik. Padahal ini jadi komponen penting di manufaktur. Tentunya harga makanan minuman akan naik juga,” tutupnya.

Diberitakan sebelumnya, Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jateng, Hary Nuryanto, menyebut banyak pengusaha yang merasa waswas dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Bahkan, jika masalah ini tak segera diatasi, dampak yang dirasa bisa sampai ke masyarakat luas.

“Ini lambat laun inflasi bakal naik, utamanya barang produksi impor. Ditambah harga minyak mentah dunia belum stabil karena perang Iran dan Israel. Imbasnya nanti ke biaya logistik akibat perdagangan yang naik semua,” terang Nuryanto.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Memuat Berita lainnya ....
Solopos Stories