SOLOPOS.COM - Desmond Tutu (theguardian.com)

Solopos.com, JOHANNESBURG — Uskup Agung Desmond Tutu, peraih Nobel Perdamaian dan veteran perjuangan Afrika Selatan melawan kekuasaan minoritas kulit putih, wafat pada usia 90 tahun pada Minggu (26/12/2021).

Pada 1984, Tutu memenangi Hadiah Nobel Perdamaian atas gerakan penentangan tanpa kekerasan terhadap apartheid.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Satu dekade kemudian, dia menyaksikan berakhirnya rezim Afsel itu dan memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk untuk mengungkap kekejaman yang dilakukan selama masa kelam tersebut.

Tutu yang blak-blakan dianggap sebagai hati nurani bangsa oleh orang berkulit hitam dan putih, sebuah bukti abadi atas iman dan semangat rekonsiliasinya di negara yang terpecah.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini : 27 Desember 1949, Republik Indonesia Serikat Lahir

Tutu didiagnosis menderita kanker prostat pada akhir 1990-an dan dalam beberapa tahun terakhir dia beberapa kali dirawat di rumah sakit untuk mengobati infeksi terkait pengobatan kankernya.

“Meninggalnya Uskup Agung Emeritus Desmond Tutu adalah babak lain dari duka dalam perpisahan bangsa kita dengan generasi Afrika Selatan luar biasa yang telah mewariskan kepada kita Afrika Selatan yang bebas. Desmond Tutu adalah seorang patriot yang tak tertandingi,” kata Presiden Cyril Ramaphosa.

Kepresidenan tidak memberikan rincian tentang penyebab kematian Tutu. Tutu berkhotbah menentang tirani minoritas kulit putih dan bahkan setelah berakhir, dia tidak pernah goyah berjuang untuk Afrika Selatan yang lebih adil dengan menyeru elit politik kulit hitam untuk bertanggung jawab dengan penuh semangat seperti halnya orang Afrika kulit putih.

Di tahun-tahun terakhirnya, dia menyesali mimpinya tentang “Bangsa Pelangi” yang belum menjadi kenyataan.

“Akhirnya, pada usia 90, dia meninggal dunia dengan tenang di Oasis Frail Care Center di Cape Town pagi ini,” kata Dr Ramphhela Mamphele, penjabat ketua Uskup Agung Desmond Tutu IP Trust dan Koordinator Kantor Uskup Agung, dalam sebuah pernyataan atas nama keluarga Tutu.

Baca Juga: Konflik di Myanmar Memanas, 30 Orang Meninggal Dunia karena Terbakar

Dijuluki sebagai “kompas moral bangsa”, keberanian Tutu dalam membela keadilan sosial, meski harus mengorbankan dirinya sendiri, selalu terpancar bukan hanya selama masa apartheid.

Dia sering berselisih dengan mantan sekutunya di partai Kongres Nasional Afrika (ANC) yang berkuasa atas kegagalan mereka mengatasi kemiskinan dan ketidaksetaraan yang mereka janjikan untuk diberantas.

Tutu membantu membangkitkan kampanye akar rumput di seluruh dunia yang berjuang untuk mengakhiri apartheid melalui boikot ekonomi dan budaya.

Berbicara dan bepergian tanpa lelah sepanjang tahun 1980-an, Tutu menjadi wajah gerakan anti apartheid di luar negeri, sementara banyak pemimpin pemberontak ANC, seperti Nelson Mandela, berada di balik jeruji besi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya