SOLOPOS.COM - Pertunjukan wayang China-Jawa di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) beberapa waktu lalu. (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

PBTY 2015 ditutup dengan pertunjukkan wayang China-Jawa (Wachinwa). Wayang ini merupakan perpaduan budaya yang bangkit dari kesunyian.

Harianjogja.com, JOGJA-Wayang China-Jawa (wachinwa) menjadi penutup Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) yang berlangsung pada 1 -5 Maret di Kampung Ketandan, Kota Jogja. Mengadopsi cerita komik berjudul Sie Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kui Menyerbu ke Timur), wujud akulturasi budaya itu kembali tampil setelah hampir 40 tahun terkubur.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengajar jurusan pedalangan Institute Seni Indonesia (ISI), Ki Aneng Kriswantoro mengatakan sebagai pemula dalang wayang China-Jawa, ia belum hapal betul alur lakon di cerita komik yang diadopsi dari karya Siauw Tik Kwie. Pada Oktober tahun lalu, ia pernah mementaskannya di Pendapa Museum Sonobudoyo.

“Saya baru mengenal wachinwa pada Oktober itu, padahal sudah 40 tahun tak pernah dipentaskan,” ujarnya.

Gan Thwan Sing (1895-1967) orang Tionghoa yang tinggal di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, membuat wayang itu pada 1925. Perpaduan budaya Tiongkok dan Jawa terlihat dari boneka wayang dan lakonnya. Boneka wayang tak berbentuk seperti boneka dalam wayang potehi, tetapi wayang yang terbuat dari kulit kerbau. Kepala wayang bisa diganti sesuai karakternya. Ketika dimainkan, wayang ini pun diiringi dengan gamelan, suluk dan antawacana.

Dahulu, pertunjukan itu sering digelar di Kelenteng Gondomanan. Setelah pemberontakan G30S, wachinwa kemudan jarang dipentaskan. Saat rezin Orde Baru berkuasa, jenis wayang China-Jawa dan wayang potehi tidak diakui sebagai bagian dari warisan budaya.

Hingga Gan meninggal pada 1966, tak ada yang meneruskannya. Bahkan dokumen tentang cerita wachinwa turut dikremasi bersama Gan. Berawal dari komik, wachinwa dapat dimainkan kembali. Sekitar 50 wayang pun berhasil diberi nama penokohannya.

Malam itu, wachinwa dipentaskan berkolaborasi dengan ketoprak. Nama Sie Djin Koei pun diadaptasi ke dalam bahasa Jawa dan dikenal dengan nama Pangeran Joko Sudiro. Cerita Sie Djin Koei bermula dari perkawinannya dengan Wa Lay Wa, dan kehebatan Sie Djin Koei menjadi seorang panglima besar. Sejak orangtuanya meninggal, Sie Djin Koei menghabiskan uang untuk mempelajari ilmu kanuragan dan kungfu.

Menurut Aneng, cerita wachinwa berpetuah, namun tak sebanyak wayang Jawa. Petuah yang dapat dipetik dari wachinwa adalah imbas dari perbuatan.

Untuk pertunjukannya malam itu, Aneng rela membuat wachinwa dengan modal puluhan juta. Gan, sang pembuat wachinwa saat itu hanya membuat dua set. Satu set wayang dengan lakon Sie Djin Koei Tjeng Tang menjadi koleksi Sonobudoyo, dan Sie Djin Koei Tjeng See (Sie Jin Kui Menyerbu ke Barat) disimpan di Jerman.

Kini wachinwa tak terkubur. Pertunjukan wachinwa melengkapi pementasan wayang potehi yang sudah rutin digelar di PBTY. Sebelumnya, koleksi itu hanya tersimpan dalam peti di Museum Sonobuyo.

Torehan simbol akulturasi China-Jawa yang sebetulnya sudah mengakar dan terpangkas karena situasi politik akhirnya bangkit dari kesunyian peti museum yang pengap.

“Saya berharap paling tidak ke depan ada sejarah baru yang terbentuk dari wachinwa,” ujar Aneng.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya