SOLOPOS.COM - Kader Ketuk Pintu Terpadu Kota Solo, Dinar Riffatien, mendata pasien TBC di RSUD dr. Moewardi, Solo, beberapa waktu lalu. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO -- Dinar Riffatien sudah menjadi Kader Ketuk Pintu Terpadu Kota Solo yang bertugas mendampingi pasien TBC sejak 2015. Tugas utamanya menjaring warga yang memiliki gejala kasus TBC.

Ia harus menemukan warga yang antara lain mengalami batuk selama dua pekan terakhir, sesak napas, nafsu makan berkurang, dan berkeringat ketika tidak melakukan aktivitas di malam hari.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dinar juga mengumpulkan dahak warga bergejala TB untuk proses diagnosis, serta mendampingi pasien TB hingga sembuh sedikitnya selama enam bulan. Tiga tahun menjadi kader ketuk pintu, mulai 2018 ia bergabung menjadi Kader Sub-Sub Recipient (SSR) TB-HIV Aisyiyah Kota Solo.

“Saya mendampingi pasien TB-HIV MDR. Data pasien HIV dan tertular TBC-MDR saya dapat dari Komisi Penanggulangan AIDS [KPA]. Obat TB-MDR minimal 18 jenis, makanya peran pendamping sangat vital,” katanya kepada Solopos.com, Minggu (25/4/2021).

Baca Juga: Kisah Perempuan Solo Penyintas TBC, Bertahun-Tahun Berjuang Sampai Dijauhi Orang

Kali pertama pendekatan kepada pasien TBC di Solo, ia berupaya meyakinkan pasien untuk berkomitmen berobat selama dua tahun. Terlebih, mereka juga harus berobat rutin guna menekan infeksi virus HIV.

Komitmen berobat itu juga harus didukung kesiapan keluarga mengingat kedua pengobatan itu harus dijalani bersamaan. Dukungan keluarga sangat penting karena kedua pengobatan berdampak pada kondisi pasien.

Dukungan Keluarga

“Dampak pengobatan TBC-MDR kan, pasien bisa lemas. Butuh dukungan keluarga. Tapi ada pula pasien yang enggak punya keluarga, sehingga kami yang menjadi pendukung satu-satunya, selain sesama pasien,” beber Dinar.

Pendekatan itu tak langsung berhasil dalam satu kali pertemuan. Ia pernah mendatangi seorang pasien TBC di Solo sampai lima kali, baru dia bersedia komitmen. Pasien HIV sudah mendapatkan stigma dari penyakitnya, masih ditambah lagi tertular TBC.

Baca Juga: Babak Baru Hubungan Solo-Sukoharjo: Dulu Renggang, Kini Saling Menopang

“Pasien ini bilang, saya hanya pendamping dan tidak merasakan penderitaan mereka. Dari situ, saya pakai teknik lain dengan mendekati keluarganya, baru ke pasien. Pelan-pelan mereka mau berobat. Alhamdulillah setelah itu lancar,” kisah warga Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, itu.

Selama menjalani pekerjaannya, Dinar sempat juga mendampingi pasien yang pengobatannya terputus lantaran keluarga tak mendukung. Pasien TBC tersebut berasal dari luar kota Solo, sehingga pendampingan dilakukan terbatas. Namun setiap beberapa pekan, pasien itu datang ke RSDM untuk menebus obat.

“Suaminya sendiri justru tak ingin dia melanjutkan pengobatan karena sehabis minum obat, selalu lemas, padahal punya anak usia empat bulan. Karena lama sekali tidak kembali ke RSDM, pendampingan dilakukan oleh kader daerah asal,” ucapnya.

Menjalin Mitra

Dari banyak pendampingan, Dinar mengaku sempat terguncang karena salah satu pasiennya mengakhiri hidup akibat tak mendapatkan dukungan dari keluarga. Pasien yang berasal di salah satu daerah pelosok di Jawa Tengah itu bahkan tak memberi tahu keluarga mengenai penyakitnya.

Baca Juga: Wow, Uang Mitra Bisnis Yang Harus Dikembalikan Sugiyono Nyaris Setara APBD Sragen!

Di daerah itu, TBC masih dianggap penyakit kiriman atau kutukan sehingga pasien itu malu. “Setelah berdiskusi dengan keluarga, istrinya sendiri tidak tahu soal penyakit suaminya. Saya kemudian menyampaikan edukasi soal TBC agar menjadi pengalaman. Salah satu dampak pengobatan adalah halusinasi yang mungkin menjadi salah satu faktor pendorong. Keluarga adalah faktor pendukung vital dalam pengobatan,” papar Dinar.

Ketua Majelis Kesehatan Aisyiyah Kota Solo, Nurhayati Suryono, menjelaskan Majelis Kesehatan Aisyiyah memiliki Gerakan Aisyiyah Sehat atau Grass. Aisyiyah secara institusional berkomitmen melakukan penanganan TB berbasis komunitas dengan menjalin mitra.

Aisyiyah sempat mendapat dukungan pendanaan dari Global Fund, kemudian akhirnya bergerak tanpa dukungan Global Fund. Nurhayati mengatakan saat ini terdapat 36 kader yang bergerak menemukan dan mendampingi pasien TBC di Solo.

Rencana Aksi

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, temuan kasus TB baru 41,31% dari target 1.668 per September 2020. Sedangkan temuan kasus TB tahun sebelumya 1.591 kasus.

Baca Juga: Bos Semut Rangrang Sragen Bebas, Ratusan Mitra Bertakbir, Berselawat, hingga Menangis

Menurut Perwali No 12/2017 tentang Rencana Aksi Daerah Penanggulangan TB (RAD TB), Kota Solo menargetkan eliminasi TB pada 2025. DKK tidak dapat memberikan anggaran untuk operasional kader dalam penanganan TB. Namun, mekanisme pembiayaan operasional bisa melalui Puskesmas.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) DKK Solo, Tenny Setyoharini, optimistis eliminasi tuberkulosis Solo tercapai dengan bantuan lintas sektor. Kendati begitu, Pandemi Covid-19 ia akui bakal berdampak pada berkurangnya temuan.

Pelaksanaan program ketuk pintu terpadu berkurang, selain banyaknya warga yang enggan memeriksakan diri ke Puskesmas apabila mengalami gejala yang mengarah ke TBC. “Jelas bakal menurun drastis, tapi kami optimistis target tersebut bisa tercapai,” katanya.

 



Artikel Ini Untuk Fellowship AJI Jakarta dan POP TB Indonesia

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya