SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Salah seorang awak boyband Super Junior (Suju), Eunhyuk, menyukai nasi goreng dan mi goreng. Bersama tiga awak Suju lainnya dan dua awak TVXQ, Eunhyuk terlibat dalam program perjalanan Analog Trip (2019).

Mereka dolan ke Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta—mendatangi Candi Borobudur dan kawasan Gunung Merapi--menikmati makanan setempat dan (mencoba) bercakap-cakap dengan orang-orang sekitar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Aktor Park Seo-joon yang semakin karib di mata pemirsa televisi Indonesia melalui drama asal Korea Selatan Itaewon Class (2020) juga punya pilihan menu Indonesia favorit.

Ia lupa nama makanan itu dan hanya mengingat komponen makanan kesukaan dia itu berupa nasi, ayam goreng, dan cabai rawit. Harian Jawa Pos edisi 17 Desember 2020 menduga ayam gepreklah yang dimaksud Seo-joon.

Nasi dan ayam pasti bukan makanan asing bagi Seo-joon. Pedas rasa cabai menghubungkan dengan riwayat makanan pedas di negerinya. Meski sanggup meleburkan batas kenegaraan, etnis, dan nyaris status sosial, makanan semakin mendapat kesan lebih ketika disantap oleh bukan sembarang orang.

Selain Eunhyuk Suju, Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama dikabarkan mengidolakan nasi goreng. Nasi goreng, soto, satai, rendang, geprek telah cukup atau baru mulai dikenal publik dunia, namun sepertinya belum cukup mengenalkan kekuatan gastronomi Indonesia.

Rendang, misalnya, masih kalah moncer dengan tom yum dari Thailand dan pho dari Vietnam. Demi merumuskan identitas boga Indonesia inilah, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Luar Negeri, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Kongres Gastrodiplomasi Indonesia I pada 13 Desember 2020.

Rempah-rempah sebagai kunci cita rasa boga Nusantara akan dikuatkan dalam peta santapan. Rempah-rempah adalah identitas bangsa. Hasil kongres juga merencanakan pendataan dan pengarsipan secara tertulis boga Nusantara, membentuk Komite Kuliner Indonesia, dan menempatkan koki sebagai staf di kedutaan-kedutaan besar Indonesia.

Saat belum ada Indonesia, makanan telah menjadi salah satu elemen yang masuk dalam catatan harian, laporan dinas, atau jurnal orang-orang asing yang datang ke Indonesia. Sejarawan Bernard Dorléans merawat dokumentasi penting ini di Orang Indonesia & Orang Prancis, Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (KPG, 2018).

Voyage autour du monde (perjalanan keliling dunia) yang dilakukan Comte de Beauvoir dan diterbitkan di Paris, Prancis, pada Desember 1872 oleh Henri Plon, misalnya, merekam pengalaman seharian di Batavia pada 1866.

Comte mencatat menu sarapan pagi yang pedas; 40 jenis cabai, gundukan nasi menyelimuti paha burung dara, kari, satai, dan sayur rebung. Inilah makanan lokal yang sangat populer bagi penikmat makanan masa itu meski bagi beberapa orang menimbulkan rasa panas menyakitkan.

Bagi Desire Charnay yang datang ke Jawa membawa misi ilmiah Kementerian Pendidikan pemerintah kolonial Belanda (1878-1879), cita rasa Melayu kelas hotel ternyata tidak memikat. Mula-mula nasi, ditambah telur dadar di atasnya, kemudian ikan asin dan ikan rebus, ayam, daging kambing, ketimun, bistik, dan lain-lain.

Di atasnya disiram dengan sambal dan dibubuhi lagi dengan empat atau lima jenis acar, membuat masakan yang dibanggakan itu terasa memualkan. Sia-sia saja saya mencoba memakannya. Charnay tidak merasakan ada yang khas dan patut ditonjolkan sebagai identitas Hindia Timur saking banyaknya komponen.

Merumuskan

Gastrodiplomasi bukanlah hal baru, tapi perlu semakin diagendakan pelbagai pihak. Pada Februari 1982, di Hotel Hilton Jakarta, pernah dilantik 34 anggota perkumpulan Gastronomi Indonesia—percabangan gastronomi internasional di Prancis.

Dari 34 orang anggota, hanya delapan anggota adalah orang Indonesia. Haji Mohamad Hasan, Menteri Anggaran semasa pemerintahan Presiden Soekarno, menjadi ketuanya (Tempo, 6 Maret 1982). Saat acara, menu berupa ikan bawal putih panggang bernama La petite salade de pemefret fume a la vinaigrette de cerfeuil dihidangkan.

Penyajiannya sangat dramatis. Ikan bawal dibawa seorang perempuan yang memerankan Nyai Rara Kidul dan ditandu oleh empat penggawa. Menu lain berupa bakmi hitam dengan saus ketumbar yang namanya sama rumit dalam bahasa Prancis, menghadirkan tokoh wayang Bima.

Muncul keresahan merumuskan boga Indonesia; jenis hidangan, kekhasan bumbu dan bahan, cara penyajian, nama, sekaligus nuansa. Bagaimana pun, sajian ala malam gastronomi ini nantinya cenderung dinikmati pelancong asing atau kaum domestik menengah ke atas.

Saat itu, dari staf istana kepresidenan, dinas pemangku kebijakan wisata, sampai manajemen perhotelan tengah memikirkan cara menggalakkan gaya santapan Indonesia.

Boga dan kebangsaan juga melibatkan pihak ”ilegal” yang membuka jalan ke panggung internasional. Pengakuan dan pengalaman Sobron Aidit berjudul Cerita Sekitar Resto Riwayat Singkat (Rantau dan Renungan II, 1999) membabarkan politik bertahan hidup sebagai eksil politik di Prancis melalui makanan. Mereka yang tertuduh komunis tidak bisa pulang ke haribaan tanah air Indonesia.

Politik bertahan hidup yang sekaligus menjadi upaya gastrodiplomasi sempat membikin negara Orde Baru waswas. Pemerintah mengeluarkan surat edaran larangan bagi orang-orang Indonesia mendatangi restoran.

Ada yang patuh, tapi lidah dan rindu tidak bisa berbohong di hadapan sepiring soto ayam, rendang, gado-gado, gulai kambing, atau olahan balado. Selera tidak bisa diatur oleh ancaman birokrasi. Siapa pun bisa memilih datang atau menahan diri karena keberpihakan politik.

Sobron menulis dengan bangga dan satire. Semua duta besar Asia atau pegawai stafnya pernah makan di tempat kami, kecuali Indonesia! Konon, politik bisa diredakan oleh makanan.

Pemerintah Indonesia yang tengah merumuskan identitas boga enggan mengambil peran di sini. Bukankah pernyataan Sobron justru menunjukkan kesuksesan mengenalkan kebudayaan rasa Indonesia ke meja makan dunia?



Altruisme mutakhir benar-benar menempatkan makanan untuk melawan rasisme, menjembatani dialog politik kebangsaan, dan tentu perayaan massa industri pariwisata kuliner yang cenderung meleburkan etnis para penyantap.

Berbagi pengalaman bersantap berarti menjalin keterhubungan budaya. Indonesia menantang diri lewat pengetahuan kebudayaan makanan dan mendiplomasikan kepada pihak luar tanpa merasa inferior. Dunia (selalu) lapar dan boga Indonesia ingin turut mengentaskan rasa lapar global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya