SOLOPOS.COM - Ilustrasi bus PO Raya warna merah yang sempat melayani rute Solo-Wonogiri. (Youtube)

Solopos.com, WONOGIRI — Kru bus bumel di Wonogiri terpaksa bekerja serabutan agar tetap melanjutkan hidup di tengah pandemi Covid-19. Pada awal pandemi Covid-19, bus bumel di Wonogiri sama sekali tidak beroperasi selama delapan bulan.

Kondektur bus bumel perusahaan otobus (PO) Raya, Widadi, mengatakan pada saat itu banyak kru bus yang banting setir ke pekerjaan lain. Beberapa di antara mereka menjadi petani atau bekerja apa saja yang dapat menghasilkan uang asalkan halal.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Widadi menyebut masa-masa tersebut sebagai masa terburuk selama bekerja sebagai kondektur. Ia menjadi kondektur bus sejak 1990-an.

“Jadi kami benar-benar merasakan hidup segan mati juga tidak mau. Hancur, kami kolaps waktu itu. Meskipun sekarang juga belum pulih betul,” kata Widadi saat ditemui Solopos.com, di bengkel bum bumel PO Raya, Senin (27/6/2022).

Saat itu, lanjut Widadi, para kru bus sempat mengajukan bantuan kepada Pemkab Wonogiri. Mereka merasa sama sekali tidak tersentuh bantuan layaknya orang-orang yang bekerja di sektor lain, seperti para pedagang. Padahal nasib mereka tidak kalah memprihatinkan dengan sektor lain tersebut.

“Delapan bulan itu bukan waktu yang pendek. Kami benar-benar bingung waktu itu. Tidak ada harapan. Banyak juga di antara kami yang di rumah saja. Mau kerja di bidang lain, umurnya sudah terlalu tua,” jelas dia.

Hal yang sama juga dirasakan kondektur lain, Mulyanto. Dia mengaku harus bekerja apa saja guna menghidupi keluarga, seperti menjadi sopir panggilan. Sampai saat ini Mulyanto kerap menerima jasa menjadi sopir.

“Bayangkan, saya ini baru punya anak masih TK. Mungkin kalau yang lain lebih ringan karena anak-anak mereka sudah besar dan sudah tidak sekolah. Kalau saya, ibaratnya baru mulai kehidupan, jalannya masih panjang. Kabeh tak ayahi,” ucap Mulyanto saat berbincang dengan Solopos.com di Terminal Pracimantoro, Selasa (28/6/2022).

Sopir bus bumel trayek Solo-Pracimantoro, Suparno alias Nano, memilih menjadi petani tembakau saat armada bus benar-benar tidak beroperasi saat itu. Nano menyewa lahan seluas lebih kurang satu hektare di Pracimantoro. Sayangnya, ia gagal panen dan merugi hingga Rp60 juta.

“Kalau dihitung-hitung, waktu itu saya rugi sampai Rp60 juta. Bagaimana tidak, semua mulai dari nol. Dari beli alat pertanian, bibit, sampai sewa lahan. Hasilnya belum sesuai harapan,” ungkap Nano.

Meski pemerintah sudah melonggarkan kegiatan masyarakat saat sekarang, penumpang bus bumel tidak kunjung membaik. Para kru bus kadang rela tidak menerima upah karena pendapatan dari bus bumel hanya cukup membeli solar dan setoran kepada pemilik bus.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya