SOLOPOS.COM - Pengunjung menyaksikan karya dalam pameran bertajuk Footnotes di Kepatihan Art Space, Solo, Minggu (20/10/2013) malam. Pameran yang berlangsung Minggu-Senin (20-28/10) ini menampilkan 100-an karya dengan media kertas. (Mahardini Nur Afifah/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Perupa asal Bandung yang terkenal dengan gambar buruk rupa, Nandanggawe, menggelar 100-an karya dalam pameran tunggal bertajuk Footnotes di Kepatihan Art Space, Solo, Minggu-Senin (20-28/10/2013). Seniman lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung 2002 lalu ini memamerkan perjalanan seni rupanya dengan media kertas dalam kurun waktu 1994-2013.

Pameran yang menyajikan karya-karya berukuran mungil ini merupakan kelanjutan pameran tunggal Nandang berjudul The Ugliness di Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung (ITB), 2011 lalu. Berbeda dari karya-karya sebelumnya yang serba hitam-putih, kali ini perupa bernama lengkap Nandang Gumelar Wahyudi tersebut menampilkan karya yang penuh warna.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Perupa yang namanya telah tercatat di Triennial of Extended Art Media Belgrade, Serbia ini memberikan porsi yang berimbang antara materi kritik kondisi sosial dan kontemplasi pribadinya. “Saat ini saya melihat tidak ada lagi ruang privat. Selalu ada intervensi dari luar meskipun kita berada di ruang privat. Televisi, ponsel, dan internet itu benda luar yang mengusik ruang privat,” terang Nandang ketika berbincang mengenai konsep karyanya di sela-sela pembukaan pameran, Minggu (20/10/2013) malam.

Deretan 48 karya garapan Nandang selama 2012-2013 yang dipamerkan kali ini menggambarkan beragam ekspresi manusia. Karya-karya berjudul The Face and The Other Face itu menampilkan kebahagiaan, keresahan, kegusaran, hingga keterkejutan dalam wajah karikatural.

“Mungkin karya ini dilatarbelakangi ketertarikan saya terhadap dunia teater.  Makanya, karya ini menampilkan beragam ekspresi. Tapi karya saya tidak pernah besar. Ini ukuran yang paling besar [37 cm x 52 cm]. Karena saya senang mobile, karyanya juga yang praktis,” kata perupa multimedia (lukisan, drawing, sketsa, instalasi, dan tulisan) ini.

 Tidak Nikmat

Sementara itu, sang kurator, Aminudin T.H. Siregar, menilai karya Nandang yang berbentuk gambar, lukisan, instalasi, performance art, happening art, dan teater memiliki satu ciri khas. Setiap karyanya selalu menghadirkan figur yang tidak nikmat dipandang mata.

“Figur manusia Nandanggawe berkepala plontos dengan gesture yang sulit meyakinkan kita untuk menerimanya sebagai kenormalan. Warna kontrasnya saling berbenturan. Komponen pendukungnya gaduh, saling bertumpukan. Nandanggawe nyaris tidak pernah membina keseimbangan sebab tidak ada ruang untuk membuat kita merasa tenang. Karyanya menggiring kita pada rasa tertekan yang dalam,” urai Aminudin yang juga dikenal sebagai pengajar di ITB dalam pengantar pamerannya.

Perupa yang mengaku tidak ingin menghadirkan karya “mapan” ini sengaja menyambangi Solo. Dia tergerak menyaksikan gairah perupa muda Solo yang ingin membangun ruang kebudayaan. “Energi anak-anak muda ini mengingatkan saya dengan masa lalu saya. Energi ini akan saya bawa sebagai modal berkarya,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya