SOLOPOS.COM - Salah satu karya Dien Firmansyah yang dipamerkan dalam Passion Instinct Era di Independent Art Space & Management, Sabtu (4/10/2014). (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Harianjogja.com, JOGJA—Burger, salah satu dari sekian banyak makanan dari luar negeri, kini telah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia. Memakan burger, kini tak lagi menjadi sebuah simbol kemewahan. Sebaliknya, burger sudah menjadi semacam godaan yang berdaya pikat dan seolah menuntut manusia untuk mencintai dan kemudian memakannya.

Oleh seniman Dien Firmansyah, keberadaan burger diterjemahkan dalam arti yang lebih ekstrem. Dalam karya-karya pop art yang
dipamerkan di Independent Art Space and Management (I AM), seniman yang akrab disapa Iend ini justru mengartikan burger sebagai salah satu bentuk produk yang bersifat fasis.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Dalam pameran bertajuk Passion Instinct Era yang digelar mulai 2 Oktober hingga 20 Oktober, Iend mencoba menampilkan burger
sebagai salah satu produk kebudayaan. Di matanya, burger harus tetap tampil utuh di segala tempat (ruang/media berkarya). Burger
harus tetap tampil memesona.

Bagi Iend, hanya manusia yang boleh tidak utuh, baik dalam hal pakaian, maupun artefak hidupnya. Manusia akan berkurang, namun burger harus tetap abadi. Burger-burger dalam karya Iend tampil utuh, tidak kurang sedikit pun. Di situ burger jadi sesuatu yang fasis, memerintah kita untuk mencintainya, tidak lagi sebatas sebagai sesuatu yang menggoda. Hal inilah yang membuat Iend kemudian berpikir untuk mengambil kata passion instict dalam tajuk pamerannya.

Tak hanya burger, Iend juga menampilkan objek lain yang dianggap memiliki daya goda dan pikat sama besarnya. Seperti misalnya
sepatu, yang dianggap mampu menunjukkan bahwa dalam wujudnya tersimpan daya goda, yang mana dalam wilayah komodifikasi,
publik menamainya sebagai sesuatu yang bersifat fetis.Dalam pameran Passion Instinct Era, objek yang bersifat fetis juga dinilainya
juga bisa dimaknasi sebagai objek yang bersifat fasis.

Karya-karya Iend yang dikerjakan pada rentang 2012-2014 itu menggunakan media cat akrilik pada kayu. Menurut penulis pameran sekaligus pengamat pameran, F.X Widyatmoko alias Koskow, tajuk Passion Instinct Era yang dipilih Iend dalam memamerkan karya-karyanya itu merupakan simbol era di mana perasaan menjadi tendensi natural dalam kehidupan, baik yang terbentang di wilayah “Oh Tuhan”, hingga di wilayah “Lalala”.

Bagi Koskow, kalimat “Oh Tuhan” kerap dikenal sebagai sebuah pelafalan terhadap kenikmatan yang bersifat ketuhanan. Begitu pula
dengan lalala, dapat dimengerti sebagai sebuah ekspresi kesenangan manusia.

“Di antara Tuhan dan lalala tersebut hadir perasaan kuat yang berlompatan dari burger, sosok perempuan, skull, sepatu, rantai, gear, dan sebagainya,” ucap Koskow, Minggu (5/10/2014).

Bagi Koskow, pernyataan, “Oh Tuhan dalam segenggam lalala” adalah sebuah pernyataan yang paling sesuai sebagai hasil dari
komunikasinya dengan karya-karya Iend.

“Karena dari cara yang saya temukan [dari karya-karya Iend], terdapat hal-hal yang ironis: burger fasis, oh my God! dan Lalala,
perempuan dan nyala senter,” tutur Koskow.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya