SOLOPOS.COM - Dhima Wahyu Sejati (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Baru-baru ini jagat maya dan media arus utama ramai memberitakan konflik terbaru di Palestina. Antusiasme kaum muslim Indonesia, seperti biasa, sangat tinggi. Meski jika dipikiri-pikir jarak dan letak geografis antara Indonesia dan Palestina terlampau jauh.

Kenapa kaum muslim di Indonesia selalu antusias dengan pemberitaan mengenai Palestina di media, bahkan sampai menimbulkan rasa empati sekaligus amarah? Sebenarnya, dalam kajian media, ada yang disebut proximity (kedekatan).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Konsep ini juga membicarakan mengenai antusiasme pembaca atau katakanlah audiens media. Saya yang berdomisili di Kota Solo akan sangat antusias jika terjadi sesuatu di Kota Solo dan sekitarnya. Sebaliknya, misalnya berita banjir di Sumatra, saya akan cenderung pasif mengikuti isu tersebut. Jaraknya terlalu jauh dan saya tidak ada ikatan apa pun dengan Sumatra.

Tentu tidak selalu soal jarak, bisa juga soal budaya. Misalnya, saya yang berasal dari Jawa lalu merantau ke Sumatra. Ketika ada pemberitaan mengenai pemilihan gubernur Jawa Tengah, rasa penasaran saya akan lebih tertuju ke Jawa ketimbang pemilihan kepala daerah di Sumatra. Inilah proximity yang juga ada kaitannya dengan keterikatan budaya.

Bagaimana bisa kaum muslim di Indonesia selalu antusias dengan pemberitaan Palestina di media? Hal ini menarik sebab jika ditilik di peta jarak antara Palestina dan Indonesia terlampau jauh. Dalam ranah budaya, meski sama-sama mayoritas warganya muslim, jelas budaya timur (baca: Arab) banyak perbedaan jika dibanding dengan Indonesia. Proximity dalam manifestasi jarak dan budaya jelas tidak relevan.

Perlu dingat bahwa jurnalisme tumbuh beriringan dengan konsep nasionalisme. Tirto Adhi Soerjo menggunakan jurnalisme untuk memperjuangkan integritas bangsa (nation). Ia menerbitkan Medan Prijaji yang selalu mengangkat isu-isu lokal dan kepentingan pribumi.

Kepentingan itu lalu diikat menggunakan konsep nasionalisme untuk melawan kolonialisme Belanda. Sebenarnya nasionalisme menghapus batasan antara ras dan agama, namun nasionalisme yang berkembang hingga hari ini juga menghasilkan satu batasan yang kian konkret antara bangsa (nation) dengan bangsa yang lain.

Di kepala kita ada anggapan bangsa Malaysia dan bangsa Indonesia berbeda, padahal keduanya satu rumpun, yang artinya keduanya memiliki budaya yang serupa. Islam tidak pernah akrab dengan konsep nasionalisme sepert itu. Islam mengenal  konsep umat yang melampaui sekat-sekat kebangsaan yang selama ini diimajinasikan.

Yang dimaksud umat, sebagaimana menurut Ali Nurdin dalam Quranic Society (2006), bisa bersifat khusus untuk kelompok tertentu (misalnya umat Islam), namun juga bersifat umum yang merujuk pada umat manusia sebab setiap generasi manusia adalah umat yang satu.

Tidak mengherankan kedekatan (proximity) umat Islam di Indonesia dengan Palestina tidak ada hubungannya dengan jarak geografis dan budaya, melainkan karena sama-sama menjadi bagian umat Islam dunia atau bisa juga dengan alasan kemanusiaan. Perlu diingat, penduduk Palestina tidak semuanya muslim.

Secara politis Presiden Sukarno sangat menginginkan Palestina merdeka. Palestina juga bergabung pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung, ditambah lagi Palestina merupakan negara yang paling awal mendukung kemerdekaan Indonesia. Keterikatan politik ini semakin mempertegas proximity itu, sekaligus menjawab kenapa kaum muslim Indonesia sangat antusias mengikuti berita di media mengenai Palestina.

Corak Tersendiri

Antusiasme itu disambut baik oleh industri pers. Media-media arus utama sangat jelas berlomba-lomba memberitakan soal konflik di Palestina. Cara kerja media yang kapitalistis menempatkan Palestina bukan sebagai pihak yang harus dibela, namun sebagai umpan untuk menguasai ceruk pasar muslim yang teramat potensial.

Muncul kemudian, sejak lama, wacana untuk meramu ulang konsep jurnalisme disesuaikan dengan asas keislaman, biasa disebut dengan jurnalisme Islam. Jurnalisme semacam ini bisa menjadi alternatif pegangan bagi media yang mengesampingkan keberpihakan dan mengutamakan kapital. Tentu masih menjadi perdebatan sebab konsep ini belum benar-benar matang dan jelas.

Meski demikian, antara jurnalisme dan islamisme adalah dua hal yang berbeda. Jurnalisme hampir selalu identik dengan barat (Eropa), sementara yang diusung jurnalisme ala barat ini adalah semangat liberalisme. Islamisme mempunyai prinsip nilai tersendiri seperti tauhid, akhlak, amar makruf nahi mungkar, dan amanat.

Sebenarnya sudah ada yang mengusulkan warna baru jurnalisme yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman yang disebut di atas. Ia adalah Hamid Mawlana dalam paper Theoretical Perspectives on Islam and Communication. Kosep ini pada porsi tertentu bisa diterima, namun di sisi lain sangat sulit diterapkan.

Yang bisa diterima mengenai prinsip tauhid. Jika diterapkan dalam prinsip jurnalisme berarti penolakan kultus individu dan penolakan terhadap superioritas manusia. Ini bisa diterima karena memang media yang berintegritas sudah sewajarnya menghindari kultus individu, biasanya yang dikultuskan adalah pemilik media.

Yang cukup sulit diterima adalah prinsip takwa. Para jurnalis dituntut taat kepada Allah, yang juga menjadi indikasi kenaikan jenjang karier. Memang terkesan baik, cuma nilai ketakwaan itu bersifat individu. Sulit mengukur tingkat ketatan seseorang terhadap Tuhan.

Sedangkan Janet Steele dalam buku Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara (2018) menjelaskan pernah meneliti mengenai hubungan jurnalisme dan Islam di dua negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk muslim terbesar, yaitu Malaysia dan Indonesia.

Di Malaysia Steele menemukan jurnalis atau wartawan surat kabar nasional Harakah berusaha menerapkan prinisp jurnalisme dan ajaran Islam. Begitu juga di Indonesia, banyak wartawan yang mengaitkan profesinya sebagai jurnalis dengan ayat Al-Qur’an.

Salah satunya adalah Syahruddin El Fikri dari Republika. Ia menyebut wartawan harus menghindari fitnah. Wartawan muslim juga harus menghindari konten yang bersifat gosip dan gibah. Ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 12.

Konsep mengenai jurnalisme Islam masih belum sempuna. Konsep ini hanya sampai pada taraf indvidu, belum melembaga dengan prinsip-prinsip yang jelas. Sayangnya, diskursus mengenai hubungan jurnalisme dan Islam masih sepi terdengar, padahal konsep mengenai jurnalisme Islam bisa saja relevan di Indonesia.

Akhir-akhir ini banyak bermunculan media online yang mengatasnamakan Islam. Media baru itu membawa wacana keislaman di media sebagai konten utama, terkadang mereka juga saling bertarung wacana. Sayangnya, kemunculan media ”Islam” ini tidak dibarengi dengan menyempurnakan makna  mengenai jurnalisme Islam itu sendiri.

Banyak media online mengatasnamakan Islam masih tertatih-tatih mengusung konsep jurnalismenya. Ini membuat cara kerja di redaksi juga membingungkan. Mereka kadang-kadang tidak bisa membatasi konten mana yang merupakan karya jurnalistik.



Jadi wajar saja ketika media-media Islam yang relatif baru bermunculan di jagat Internet itu sulit mendapat pengakuan Dewan Pers. Meski sedang tertatih-tatih, jurnalisme yang didasari pada etika Islam sebagaimana penelitian Steele jelas memiliki corak tersendiri. Jurnalisme semacam ini sudah seharusnya dikaji secara serius hingga muncul satu corak baru yang bisa menjadi alternatif.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya