SOLOPOS.COM - Ilustrasi stres. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO-Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) Dr. Sandersan Onie mengatakan stigma masih jadi isu utama dalam penanganan masalah kesehatan mental yang lambat, termasuk di kota besar, di mana kesadaran kesehatan jiwa lebih baik. Di Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober ini, tak ada salahnya simak ulasannya di info sehat kali ini.

“Di kota besar kesadaran tentang kesehatan jiwa lebih baik, tapi banyak yang tidak mau bertemu dengan profesional karena stigma,” kata pria yang akrab disapa Sandy itu dikutip dari Antara pada Senin (10/10/2022).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Stigma dalam penanganan kesehatan itu muncul lantaran sebagian masyarakat masih menganggap hanya orang gila atau tidak waras yang perlu bertemu dengan psikolog atau psikiater. Diskriminasi terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental juga dibarengi dengan rasa malu keluarga untuk meminta bantuan kepada tenaga profesional.

Baca Juga: Video Marshanda Viral di Twitter dalam Perayaan Hari Kesehatan Mental Dunia

“Rasa malu dan diskriminasi merupakan tantangan terbesar terhadap sebuah negara yang sehat,” kata pendiri organisasi kesehatan mental Emotional Health for All (EHFA).

Padahal, kualitas hidup akan menurun ketika kesehatan mental tidak ditangani, bahkan bisa mempengaruhi anggota keluarga sekitar. Gangguan kesehatan ini juga bisa berujung kepada upaya bunuh diri.

“Indonesia memiliki masalah kesehatan mental yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian terbaru, kami menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya mungkin setidaknya 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan, dan jumlah percobaan bunuh diri setidaknya 7 kali lipat dari jumlah tersebut,” kata ahli kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri itu.

Baca Juga:  Ini Manfaat Tidur dengan Kucing

Fenomena tersebut bagaikan puncak gunung es. Menurut dia, masih banyak kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan karena keluarga merasa hal itu merupakan aib yang harus disembunyikan. Saat ini di Indonesia hanya terdapat 4.400 psikolog dan psikiater dengan jumlah populasi lebih dari 250 juta orang. Dengan adanya pandemi Covid-19, menurut Sandersan, kondisi kesehatan mental dari dampak pandemi tidak diketahui.

Jika penanganan masalah kesehatan mental terkendala stigma dapat berdampak terhadap ekonomi.  Sandersan mengatakan berdasarkan penelitian, kerugian ekonomi mencapai Rp582 triliun per tahun akibat kematian dan hilangnya produktivitas, di sisi lain penanganan kesehatan mental berjalan lambat.

Baca Juga: Psikolog: Stres Dapat Sebabkan Anak Kena Gangguan Makan

Karena adanya stigma dalam penanganan masalah kesehatan mental itu, alhasil lebih banyak orang Indonesia berkonsultasi kepada pemuka agama. Menurut dia, di Indonesia masih banyak orang yang lebih memilih berkonsultasi kepada pemuka agama ketimbang profesional di bidang kejiwaan. Oleh karena itu, menurutnya, para pemuka agama juga harus punya pandangan yang benar mengenai kesehatan jiwa.

“Jadi penting untuk bekerja sama dengan pemuka agama,” kata dia.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya