SOLOPOS.COM - ilustrasi

Harianjogja.com, JOGJA – Vandalisme berbayar yang belakangan lebih massif mengancam eksistensi DIY sebagai kota budaya dan pariwisata.

Menurut Sumbo Tinarbuko, Pengajar Komunikasi Visual ISI Jogja, vandalisme berbayar dalam hal ini adalah iklan luar ruang, sedangkan vandalisme tidak berbayar menyangkut corat-coret di dinding.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

“Coret- coret itu menunjukkan eksistensi kehebatan kelompok atau gengnya, tapi yang perlu ditekankan adalah iklan luar ruang semakin membuat Jogja kehilangan ciri visualnya,” ujar inisiator komunitas Reresik Sampah Visual itu kepada Harianjogja.com, Minggu (19/10/2014).

Iklan luar ruang sekarang ini mulai merambah lewat media televisi LED dengan ukuran besar. Pemerintah Kota Jogja mengupayakan itu untuk mengurangi sampah visual dari iklan dua dimensi melalui billboard. Kenyataannya, jarak antara satu LED dan yang lainnya justru terlalu dekat. Ia mencontohkan di seputaran Jembatan Kleringan sudah ada dua buah LED. Kemudian begitu sampai di pintu masuk Malioboro, LED itu terdapat di seputaran Taman Abu Bakar Ali, Dinas Pariwisata dan seterusnya di perempatan titik nol.

“Itu kan artinya menggali lubang sendiri. Pemkot menyelesaikan masalah dengan masalah, karena sama saja tambah semrawut,” ujar

Menurut dia, kondisi di perempatan Tugu lebih parah. Selain keberadaan LED, di sana dijumpai banyak sampah arsitektur. Misalnya saja dengan tidak disadari ketika orang berfoto dari arah utara, maka 101, nama sebuah hotel baru di Jalan Mangkubumi, akan ikut terfoto.

“Besok-besok orang kalau mau berfoto disitu akan mengajak,” Yuk kita foto di Tugu One O One [101],’” ujarnya.

Begitu pula ketika mengambil foto dari sisi barat Tugu, maka akan terabadikan pula logo gerai McD. Kemungkinan yang sama juga akan terjadi ketika foto dari selatan, karena sedang didirikan bangunan hotel di Jalan AM. Sangaji. Ia menyayangkan kondisi itu, padahal disepakati bahwa Jogja merupakan kota heritage.

“Tetapi pelaksanaannya justru merendahkan bangunan lama. Tugu Jogja jadi kelihatan kecil kayak hanya sekadar sogok untu,” tuturnya.

Sumbo mengatakan, dengan sepakat menyebut Jogja sebagai kota heritage, bukan berarti pembangunan dilarang, tapi mestinya harus disesuaikan bukannya justru mengganti atau menghilangkan bangunan lama.

“Iklan lewat billboard atau LED, kenapa bentuknya melulu kotak, persergi panjang. Kenapa tidak dibuat sedemikian rupa, padahal Jogja banyak seniman hebat, misal bisa dalam bentuk patung tiga dimensi, itu kan lebih artistik.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya