SOLOPOS.COM - hmad Tohari dalam acara Pemberian Anugerah Senator Indonesia B-52 Bidang Sastra dan Kebudayaan Orasi Budaya di Aula Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unsoed, Rabu (8/6/2022).(Tangkapan layar)

Solopos.com, SOLO — Budayawan dan sastrawan Ahmad Tohari prihatin melihat sastra yang kian terpinggirkan. Padahal sastra dan budaya menurutnya adalah induk dari segala ilmu pengetahuan.

“Ilmu ekonomi itu kaitannya dengan perut, ilmu eksakta itu untuk mengasah otak dan logika, sedangkan sastra berguna untuk mengasah hati,” ujar Ahmad Tohari dalam acara Pemberian Anugerah Senator Indonesia B-52 Bidang Sastra dan Kebudayaan Orasi Budaya di Aula Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Banyumas, Rabu (8/6/2022).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut sastrawan yang akrab disapa Kang Tohari itu, kebudayaan memiliki arti yang luas, bahkan ada yang mengatakan ada 140 definisi tentang kebudayaan.

Namun menurutnya kebudayaan bagi seseorang adalah kesadaran untuk menjadi manusia yang baik dan maju. “Jadi kalau orang sadar, dirinya berkembang menjadi baik dan maju itu sudah berbudaya,” tandasnya.

Di lain sisi, Tohari juga mengungkapkan rasa bahagianya saat mendapat kabar dari Gramedia bahwa novelnya, Ronggeng Dukung Paruk telah masuk cetakan ke-18. Dia juga mengungkapkan bahwa novel tersebut telah diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing.

Baca Juga: Pemilihan Rektor Unsoed 2022-2026, Prof Sodiq Raih Suara Terbanyak

“Karya sastra bukan masalah materi, tapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Orang yang tidak suka membaca sastra, biasanya akan sulit memahami kemanusiaan. Dengan bersastra jiwa kita akan bisa memahami kemanusiaan,” ujarnya.

Terkait budaya Banyumas, Ahmad Tohari mengaku bahwa dirinya lebih Banyumas dari orang Banyumas. Beberapa hal telah dilakukan untuk melestarikan budaya Banyumas seperti membuat kamus dan majalah berbahasa Banyumas. Menurutnya budaya dan sastra termasuk budaya Banyumas harus terus dilestarikan.

“Sebab hidup bukan hanya soal ekonomi dan pangan. Dengan sastra, ada nilai-nilai kemanusiaan yang mesti terus dijaga agar kehidupan masyarakat tetap berjalan dengan baik,” ujarnya.

Baca Juga: Sastra Lisan di Banyumas Nyaris Punah, Ini Langkah Balai Bahasa Jateng

Anugerah Senator Indonesia merupakan rangkaian Dies Natalis FIB Unsoed yang diinisiasi oleh Senator Indonesia B-52, Dr. Abdul Kholik SH.,M.Si (Anggota Dewan Perwakilan.

Penghargaan ini didedikasikan bagi siapa saja baik perseorangan, kelompok, atau organisasi yang memiliki sumbangsih ataupun peran yang berkontribusi besar bagi kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat banyak.

Pemberian penghargaan ini sebagai bentuk apresiasi juga dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya sikap – sikap pengabdian kepada masyarakat atau negara.

Baca Juga: Kota Solo Pernah Jadi Pesemaian Sastra Patriotik dan Revolusioner

Pada kesempatan itu Anugerah Senator Indonesia B-52 Bidang Sastra dan Kebudayaan diberikan oleh Abdul Kholik kepada Ahmad Tohari.

“Sosok Ahmad Tohari terpilih dari puluhan tokoh lainnya karena dinilai seseorang yang mampu memperkokoh tradisi sastra realisame di Indonesia. Dia juga sosok yang tanggap kritis terhdap masalah sosiokultural masyarakat di pedesaan,” kata Abdul Kholik.

Di tangannya sastra tidak diperbudak, untuk menyampaikan buah pikir tetapi menjadi organisme yang hidup dengan nalarnya sendiri.

“Tak heran jika dengan segala pencapaiannya, beliau menduduki tempat istimewa di kazanah sastra Indonesia bahkan dunia. Maka beliau sangat layak mendapatkan penghargaan ini karena telah menjadi inspirasi dan motivasi untuk kita semua,” jelasnya.

Baca Juga: Daun Lontar Mengabadikan Karya Sastra Naskah Merapi-Merbabu

Rektor Unsoed dalam testimoninya yang dibacakan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan & Alumni, Dr.Kuat Puji Prayitno, SH.,M.Hum menyampaikan, Ahmad Tohari, merupakan sosok yang tidak hanya seorang sastrawan atau budayawan, melainkan juga orang tua dan guru. Selain itu, yang dalam berkarya dia senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal.

“Salah satu karya beliau yang bisa dikatakan sebagai magnus opum [karya besar] adalah Ronggeng Dukuh Paruk, yang mampu menghadirkan dinamika kehidupan masyarakat secara tersirat maupun tersurat di era tahun 60-an dengan penuh kelugasan sekaligus kearifan,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya