SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JOGJA — Tragedi Kanjuruhan Malang yang memakan korban ratusan orang menjadi noda hitam dalam dunia persepakbolaan nasional. Tragedi itu bukan hanya kesedihan bagi Aremania, tetapi juga bagi seluruh pecinta sepak bola di Indonesia.

Untuk mendoakan para korban dalam tragedi itu, ratusan pemuda yang merupakan perwakilan dari kelompok-kelompok suporter sepak bola yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta berkumpul di kawasan Titik Nol Kilomter Jogja, Minggu (2/10/2022) malam. Ratusan pemuda itu berasal dari 13 kelompok suporter di DIY.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Di bawah rintik hujan, ratusan suporter itu tidak untuk menyanyikan chant dan meneriakkan yel dukungan terhadap klub sepak bola idola. Malam itu, mereka berkumpul di kawasan Titik Nol Kilometer untuk satu tujuan yang sama, yakni berdoa dan merenung terkait tragedi terbesar dalam dunia persepak bolaan nasional.

Sekitar pukul 21.00 WIB, tepat setelah hujan deras mereda dan hanya sedikit gerimis tersisa, kegiatan doa bersama itu dimulai dengan menyalakan lilin.

Baca Juga: Selain Copot Kapolres Malang, Kapolri Juga Copot 9 Polisi terkait Kanjuruhan

Setelah lilin menyala, dengan khusyuk kepala ratusan pemuda itu bersama-sama menunduk. Atribut kelompok yang mereka bawa saat itu menjadi saksi bahwa malam itu, tak ada lagi kelompok suporter A, B, C, dan seterusnya.

Atribut-atribut itu menjadi saksi bahwa siapa pun kelompoknya, klub sepak bola mana pun yang mereka dukung, malam itu, mereka sama-sama berduka dan tengah berkabung.

fifa larang gas air mata
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk lapangan usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022). (Antara/Ari Bowo Sucipto)

Setelah berdoa, seseorang tampil berbicara di hadapan ratusan suporter. Pemuda itu merupakan seorang Aremania yang menjadi saksi Tragedi Kanjuruhan.

Pemuda itu mengisahkan bagaimana ngerinya teror saat dirinya berada di dalam Stadion Kanjuruhan malam itu. Saat itu, dia bersama penonton lainnya harus berjuang meraih pintu keluar terdekat untuk keluar dari “neraka” itu.

Baca Juga: 18 Polisi Diperiksa terkait Penggunaan Gas Air Mata dalam Tragedi Kanjuruhan

“Kawan kami itu memang sengaja datang untuk bisa mengisahkan bagaimana yang sebenarnya terjadi di Kanjuruhan,” kata salah seorang inisiator kegiatan doa bersama tersebut, M. Haris Anta, Senin (3/10/2022).

Apa yang dikisahkan oleh kawannya itu, menjadi bahan renungan bagi semua suporter yang hadir malam itu. Mereka seperti disadarkan bahwa memang tak ada apapun yang berharga selain nyawa, termasuk itu salah satunya adalah sepak bola.

“Setidaknya, lewat acara semalam, kami seperti kembali disadarkan, rivalitas tak lebih dari 90 menit saja, selebihnya, kami adalah sama-sama bagian dari masyarakat DIY,” kata Anta yang juga anggota Jogjarema itu.

Baca Juga: Kepala SMAN 1 Wates Bantah Sekap Wali Murid yang Kritik Pengadaan Seragam

Itulah sebabnya, sebagai suporter Arema FC, dia mengucapkan terima kasih kepada seluruh kelompok suporter di DIY yang bersedia hadir dalam acara tersebut.

“Meski awalnya kami berharap tanpa atribut, tetapi tak masalah. Kami tetap angkat topi setinggi-tingginya kepada kawan-kawan suporter semua yang hadir,” ucap Anta.

Jadi Bahan Refleksi

Lebih dari sekadar doa bersama, kegiatan malam itu menjadi bahan renungan sekaligus refleksi atas apa saja yang terjadi di dunia sepak bola Tanah Air beberapa waktu terakhir.

audit investigasi pengamanan pertandingan di stadiion kanjuruhan malang
Warga melintas di samping mobil yang terbalik akibat kericuhan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Minggu (2/10/2022). Sedikitnya 129 orang dilaporkan meninggal dunia dan 13 mobil rusak akibat kerusuhan tersebut. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc.

Tak usah bicara lingkup nasional, di DIY saja, masih melekat di ingatan, dalam sebulan ada dua suporter meninggal dunia akibat rivalitas dan fanatisme yang sempit.

Rivalitas dalam sepak bola adalah niscaya. Tak ada sepak bola tanpa rivalitas. Setiap kelompok suporter mengakuinya.

Baca Juga: Empat Kecamatan di Jogja Rawan Banjir, Ini Penyebabnya

Tetapi bagi Anta, rivalitas itu seharusnya tumbuh tanpa harus membunuh. Rivalitas itu harus menjadi menjadi ekspresi kecintaan tanpa harus menjadikan rival sebagai korban.

Anta menegaskan, selama ini pihaknya selalu berupaya membangun komunikasi yang baik dengan sejumlah kelompok suporter lainnya, termasuk Bonek Korwil Jogja (sebutan kelompok pendukung Persebaya yang berada di DIY).

“Komunikasi kami [dengan BKJ] selama ini baik-baik saja. Tak ada masalah. Kami berharap semua kelompok suporter yang lain pun sama. Harapannya agenda semalam bisa menjadi gerbang pembuka komunikasi antarkelompok,” kata Anta.



Senada, perwakilan dari Ultras Garuda, kelompok suporter Timnas Indonesia di DIY, Embun Bening mengatakan kegiatan doa bersama yang digelar di kawasan Titik Nol Kilometer tersebut menjadi sarana refleksi bagi pihaknya untuk merenungkan kembali rentetan insiden yang terjadi di dunia sepak bola Tanah Air.

Baca Juga: 110 Hektare Lahan Pertanian di Bantul Kebanjiran, Petani Cabai Merugi

Tak cuma yang terjadi di DIY dan Malang, sejumlah insiden tak mengenakkan yang terjadi sepanjang Liga 1 musim ini digelar, diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi dan renungan bersama.

“Harapan kami sih memang acara semalam bisa menjadi pembuka pintu silaturahmi semua kelompok suporter tanpa terkecuali. Rivalitas boleh, tetapi persaudaraan jauh lebih penting,” kata perempuan yang juga anggota Bonek Jogja itu.

Harapan yang sama juga diutarakan oleh Presiden DPP Brajamusti, kelompok suporter PSIM Jogja, Muslich Burhanudin.

korban meninggal tragedi kanjuruhan arema malang persebaya surabaya
Sejumlah penonton membawa rekannya yang pingsan akibat sesak nafas terkena gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan saat kericuhan usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022). (Antara/Ari Bowo Sucipto)

Pria yang akrab disapa Pak Tole itu berharap Tragedi Kanjuruhan bisa menjadi momentum rekonsiliasi seluruh elemen sepak bola nasional. Menurut dia, kemanusiaan di atas segala-galanya.

“Saya berharap semua elemen melepaskan egonya masing-masing. Ini saatnya seluruh suporter saling bergandengan tangan agar tidak ada insiden menyedihkan lagi ke depannya,” kata dia.

Bagaimanapun, kata dia, warisan perdamaian untuk generasi berikutnya adalah hal baik yang harus diupayakan saat ini. “Pemutusan rantai rivalitas yang merugikan bisa dimulai dari diri kita sendiri mulai saat ini,” ucap Pak Tole.

Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul Tragedi Kanjuruhan, Saatnya Bergandengan Tangan dan Buka Tali Silaturahmi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya