SOLOPOS.COM - Pengrajin tempe di Desa Sambiroto, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri sedang membungkus kedelai untuk dijadikan tempe, Rabu (20/7/2022). Butuh waktu semalam untuk fermentasi kedelai agar menjadi tempe. Tempe asal Desa Sambiroto masih menggunakan daun pisan dan jati sebagai bungkusnya. (Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI–Sejumlah warga di Desa Sambiroto, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri memiliki usaha mikro kecil menengah (UMKM) berupa produksi tempe kedelai.

Tidak seperti tempe di daerah lain, tempe asal Desa Sambiroto masih menggunakan daun pisang dan jati sebagai bungkusnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Para pengrajin tempe di sana enggan mengganti bungkus itu dengan kertas atau plastik. Pasalnya, cita rasa tempe akan berubah jika tempe dibungkus selain daun pisang dan jati.

Hal itu pula yang menjadi ciri khas tempe asal Desa Sambiroto.

“Sebenarnya bisa kalau diganti dengan kertas atau plastik sebagai bungkus, tapi para pengrajin enggak mau. Rasanya jadi beda. Yang membuat enak tempe asal Desa Sambiroto itu ya daunnya itu. itu juga jadi pembeda tempe dari daerah lain,” kata Kepala Dusun Sambiroto Lor, Tasurin saat ditemui Solopos.com di salah satu rumah pengrajin tempe, Rabu (20/7/2022).

Baca Juga: Unik! Mitos Kandang Sapi di Depan Rumah di Sambiroto Wonogiri

Sedikitnya ada lebih dari 20 warga yang memiliki usaha pembuatan tempe di Desa Sambiroto.

Masing-masing pengrajin memproduksi 30kg-50 kg per hari. Mereka memasarkannya masih di sekitar Kecamatan Pracimantoro. Tiap pengrajin sudah memiliki pelanggan sendiri-sendiri.

Dia melanjutkan usaha pembuatan tempe sebenarnya tidak terlalu menguntungkan.

Hal itu karena pekerjaan membuat tempe sangat menyita waktu.

Sementara secara ekonomi, untung yang didapatkan tidak banyak. Hanya, karena memang sudah ada pelanggan tetap dan setiap hari memesan, para pengrajin tetap menjalankan usaha tersebut.

Baca Juga: Serat Centini Ungkap Tempe Kali Pertama Dibuat di Bayat Klaten

“Makannya para pengrajin itu pasti punya sapi. Soalnya limbah produksi tempe, ampas dan air rebusan kedelai bisa jadi pakan. Justru sapinya itu yang menguntungkan. Mereka tidak perlu mencari pakan rumput atau damen yang banyak. Cukup pakai limbah, sapinya cepat besar dan gemuk,” jelas dia.

Salah satu pengrajin tempe, Suratno, menjelaskan, Satu bungkus tempe dijual seharga Rp250 kepada pelanggan. Setiap satu kg tempe yang dijual menghasilkan sekitar Rp20.000. Harga beli kedelai saat ini Rp12.500/kg.

Pengrajin juga harus beli tali pengikat bungkus seharga Rp1000/ikat yang terbuat dari kulit pisang. Daun pisang yang digunakan sebagai bungkus pada lapis pertama juga membeli seharga Rp10.000/ikat. Kalau masih ada hujan, daun jati masih bisa cari sendiri di ladang.

Suratno memproduksi tempe sebanyak 30 kg setiap hari. Dia mulai bekerja sejak pukul 06.00 WIB-17.00 WIB. Sementara tiga karyawan yang bertugas membungkus tempe mulai bekerja pukul 10.00 WIB-17.00 WIB.

“Sebenarnya laba dari usaha tempe itu mepet sekali. Itu belum termasuk menghitung tenaga karyawan dan tenaga pemilik usahanya. Apalagi kalau harga kedelai naik, kami harus mengurangi porsi kedelainya. Tapi ya biasanya diprotes sama pelanggan karena ukuran tempenya jadi lebih kecil,” kata Suratno ketika ditemui Solopos.com di rumahnya.

Baca Juga: Nikmatnya Nasi Pecel Godong Jati Khas Madiun, Sehari Laku 200 Porsi

Pengrajin tempe lain, Reki, juga mengungkapkan hal serupa. Dia memproduksi tempe sebanyak 50 kg-60 kg per hari seusai permintaan. Dia mempunyai dua-tiga karyawan yang bertugas membungkus tempe.  Karena produksi lebih banyak, maka jam kerja mereka kerap sampai pukul 20.00 WIB.

Kepala Desa Sambiroto, Sukatmo, menyampaikan usaha pembuatan tempe di Sambiroto sudah ada sejak 1970-an dan masih berjalan sampai saat ini. Pasar mereka masih di sekitar Kecamatan Pracimantoro. Tetapi produksi terus setiap hari.

“Semua pengrajin tempe memanfaatkan fasilitas bersama yang dibangun Pemerintah Desa  untuk mencuci kedelai. Letaknya di samping Wisata Air Soka Nandi. Selain itu, kami juga menyediakan mesin pengupas kulit kedelai,” ujar Sukatmo.

Dia mengharapkan badan usaha milik desa (Bumdes) bisa menyediakan kedelai untuk para pengrajin tempe. Sehingga para pengrajin tidak perlu membeli di tengkulak. Selain itu, bisa membantu pemasukan pendapatan asli desa. Tetapi hal itu belum terwujud.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya